Suaranya bening meski,
terkubur riuh caci maki ratap dan juga tawa
Matanya tajam meski,
Dipaksa buta gemerlap dan warna-warni dunia
Telinganya peka meski,
Ditutup puja-puji sanjungan yang melenakan
Kata-katanya bijak meski,
Diingkari ego keserakahan ambisi dan kesombongan
Namun ia tetap hidup walau kita coba menfikan dan membunuhnya
Cobalah bunuh dia dan kuburkan dalam debu serta jelaga hitam
Tak akan mati ia kecuali akan datang dalam sepimu,
lalu laksana hakim ia akan menuntut hak yang kau rampas
Dia si penjaga hati
Nyawa dari rasa
Nafas dari kasih sayang
Darah bagi kebajikan
Bersama sabda agung Kun Faayakun saat setetes air hina membentuk darah dan daging,
Ia, si penjaga hati disemaikan untuk bersama tumbuh dalam diri kita
Lalu bagaimana bisa kehidupan kita akan terlepas darinya?
Ia hidup dalam diri kita namun seringkali kita mengingkarinya
Kesombongan manusia?
Ataukah ini kebodohan manusia ?
Cobalah berdamai dengan sepi
Agar tabir terbuka dan kita bisa mendengar dengan telinganya,
melihat dengan matanya,
berkata dengan bahasanya,
menyentuh dengan rasanya,
Cobalah sejenak kau tutup mata fanamu,
kau tulikan telinga duniamu dan
kau matikan rasa indrawimu
Sesungguhnya matamu, telingamu, hidungmu, lidahmu, kulitmu
Adalah dinding yang tebal yang menjauhkanmu dari makna sejati
Makna sejati penciptaan manusia
Maka kenalilah ia,
Ada yang memanggilnya nurani, sedang aku menamainya:
Si Penjaga Hati
Magelang, 27 Okrtober 2007
Kata-kata seperti sayap, membawa angan terbang ke langit khayal. Kata-kata seperti pisau, menusuk ulu hati dan melukai, atau kadang serupa mantra layaknya perisai, yang melindungi keyakinan! Kata-kata adalah nyawa yang menghidupkan sajak-sajak yang terlahir dari jiwa-jiwa yang gelisah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --
-- confucius --
No comments:
Post a Comment