Hujan itu,
Selayaknya tak lagi turun
Seiring musim yang berlalu mengubur seteru
Kecamuk badai yang singgah di hatimu harusnya berlalu
.
Betapa keras usaha menghapus jejak mendung di sudut matamu
Sembunyi di balik mantra kata dan tawa,
berdalih lewat mentari yang kau perangkap-paksa di bibirmu
Untuk apa, bila hujan tak juga reda?
.
Meski tak menderas dan meninggalkan jejak di sudut mata
Suara rinai dan dingin,
kutahu menusukkan jarum-jarum beku di dadamu
Mengalirkan sungai-sungai tak terangkum dalam peta
.
Kau terjebak dalam mantra dan tawa parau
Terbakar oleh mentari yang berontak di bibirmu
Dan kau makin hanyut dalam sungai-sungai gelap tak bermuara
Menyeretmu dalam siklus hujan tak putus di gelap langit hatimu
.
O, berhenti saja terus mengingkari
Mengapa tak kau coba lebih mengenal luka?
Jangan kau lari….. karena,
luka adalah satu kepingan yang membentuk hati manusia
.
Lihatlah, siapa yang tak hidup dengan luka?
Kalau kau mau….sebentar saja untuk merenung
Lihatlah, hujan di langitmu juga menyemai badai di dadaku
Kau tak sendiri!
.
.
Maka biarkan luka jangan kau ingkari
Ia bangkai yang terurai menyuburkan dataran hati
Agar pepohonan tumbuh mengakar kuat,
Lebih kuat untuk menyambut badai yang pasti datang, seiring musim yang pasti kembali
Magelang, 14 Des 06, After Rain
Kata-kata seperti sayap, membawa angan terbang ke langit khayal. Kata-kata seperti pisau, menusuk ulu hati dan melukai, atau kadang serupa mantra layaknya perisai, yang melindungi keyakinan! Kata-kata adalah nyawa yang menghidupkan sajak-sajak yang terlahir dari jiwa-jiwa yang gelisah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --
-- confucius --
No comments:
Post a Comment