Sssst…..! diam!
Jangan berisik, melangkahlah dalam kuluman sunyi
Berdirilah dibalik gelap dan melihatlah menembus pekat
Berharaplah busur masih bisa terlengkung setelah kemarin diadu dengan matahari
Kita ini lelaki yang ditakdirkan sebagai pemburu
Meski siapa diburu dan siapa memburu kian tak jelas
.
Hutan belantara, padang rumput milik kita
Adalah beribu harapan yang tumbuh seperti alang-alang tercabut
Digilas tanpa belas robek dalam tikaman realita
Meski begitu, kita tetap harus berburu
Karena hidup kita esok tak ada yang peduli
Maka tulislah hidup esok dengan panah-panahmu sendiri
.
Janganlah sekalipun lena,
Mungkin akan ada satu mimpi yang lewat
Maka saat itu, yang tidur akan menyesal
Karena di belantara kita yang telah terampas ini, mungkin mimpi cuma lewat sekali
Maka jangan pernah terlena
Tak ada waktu untuk bersedih dan mengeluh letih
.
Selalu bersedia meski malam datang
Karena digelapnya kita bisa sembunyi sementara waktu
Mengatur posisi dan mengintai
Mungkin kita akan menemukan satu kesempatan
Untuk melepaskan panah yang mulai berkarat
Dan esok, kita akan berpesta menikmati mimpi
raksaka; Magelang 14 Des 2006
Kata-kata seperti sayap, membawa angan terbang ke langit khayal. Kata-kata seperti pisau, menusuk ulu hati dan melukai, atau kadang serupa mantra layaknya perisai, yang melindungi keyakinan! Kata-kata adalah nyawa yang menghidupkan sajak-sajak yang terlahir dari jiwa-jiwa yang gelisah
Sunday, May 31, 2009
Saturday, May 30, 2009
BAHASA
Kuli-kuli bicara bahasa batu
Kata kata merekaa keras kepala lebih lagi
Hari hari mereka adalah terik mentari, keringat dan sebatang rokok kretek
Menemani gunjingan-gunjingan porno
Preman-preman kampung bicara bahasa ular
Mendesis-desis setengah berbisik, setengahnya mengancam
Hari hari mereka adalah leliku kelam, parfum murah pelacur salah zaman dan sebotol topi miring
Beradu tajam tipuan terkadang sajam
Kontraktor pemborong bicara bahasa uang
Kata kata adalah perhitungan untung rugi
Hari hari adalah perencanaan dan progress pekerjaan
Beradu akal bulus buat memperbuncit perut
Pengembara nyasar sepertiku, baiknya sedikit saja bicara
Lebih aman buat berdiri di pinggir dan menajamkan mata-telinga
Supaya dapat menemukan dimana batu dimana ular
Biar bisa duduk dengan aman
Sebelum melanjutkan mengarungi tanah antah berantah ini
Walau tanpa peta yang sempurna, karena
Pengembara sepertiku selalu tak pegang uang
( kalo pegang uang tentulah aku ingin mengembara ke pelancongan)
Raksaka, Cisauk 27 Agustus 2008
Kata kata merekaa keras kepala lebih lagi
Hari hari mereka adalah terik mentari, keringat dan sebatang rokok kretek
Menemani gunjingan-gunjingan porno
Preman-preman kampung bicara bahasa ular
Mendesis-desis setengah berbisik, setengahnya mengancam
Hari hari mereka adalah leliku kelam, parfum murah pelacur salah zaman dan sebotol topi miring
Beradu tajam tipuan terkadang sajam
Kontraktor pemborong bicara bahasa uang
Kata kata adalah perhitungan untung rugi
Hari hari adalah perencanaan dan progress pekerjaan
Beradu akal bulus buat memperbuncit perut
Pengembara nyasar sepertiku, baiknya sedikit saja bicara
Lebih aman buat berdiri di pinggir dan menajamkan mata-telinga
Supaya dapat menemukan dimana batu dimana ular
Biar bisa duduk dengan aman
Sebelum melanjutkan mengarungi tanah antah berantah ini
Walau tanpa peta yang sempurna, karena
Pengembara sepertiku selalu tak pegang uang
( kalo pegang uang tentulah aku ingin mengembara ke pelancongan)
Raksaka, Cisauk 27 Agustus 2008
Cuaca Menuntut Keadilan
Mengamuk, mencabut dan hempaskan!
Cuaca yang terluka merangsek menerjang
O, betapa menakutkan murka ibu!
Tak kusalahkan kau melainkan kamilah yang melakukan dosa
Setelah apa yang kami perbuat dengan pepohonan, tanah udara dan air, anak-anak yang kau lahirkan lebih dulu
Setelah rakus perut kami mencerna habis mereguk susumu hingga kering
Yang mestinya kami jaga untuk kelahiran generasi sesudah kami
Dan hanya kami tinggalkan sampah dan juga tanah-langit cemar maka,
Inilah dosa yang harus kami tanggung
Mungkin juga langit terlampau muak
Menuntut balas atas pembunuhan demi pembunuhan yang kami lakukan pada nurani
Mendakwa dan mempertanyakan segala leliku hitam jelaga
Dan mengungkit segala kepalsuan kami untuk mengkamuflasekan borok borok kami
Mengamuk, meraung dan menggelegar!
Hujan angin dan guntur
Menciutkan nyali kami…O, betapa nyata kerdil kami
Maafkan kami Ibu,
Ampuni kami, Tuhan….
(Raksaka: Cisauk, 28 Agustus 2008, tribute buat angin puting beliung sore hari)
Cuaca yang terluka merangsek menerjang
O, betapa menakutkan murka ibu!
Tak kusalahkan kau melainkan kamilah yang melakukan dosa
Setelah apa yang kami perbuat dengan pepohonan, tanah udara dan air, anak-anak yang kau lahirkan lebih dulu
Setelah rakus perut kami mencerna habis mereguk susumu hingga kering
Yang mestinya kami jaga untuk kelahiran generasi sesudah kami
Dan hanya kami tinggalkan sampah dan juga tanah-langit cemar maka,
Inilah dosa yang harus kami tanggung
Mungkin juga langit terlampau muak
Menuntut balas atas pembunuhan demi pembunuhan yang kami lakukan pada nurani
Mendakwa dan mempertanyakan segala leliku hitam jelaga
Dan mengungkit segala kepalsuan kami untuk mengkamuflasekan borok borok kami
Mengamuk, meraung dan menggelegar!
Hujan angin dan guntur
Menciutkan nyali kami…O, betapa nyata kerdil kami
Maafkan kami Ibu,
Ampuni kami, Tuhan….
(Raksaka: Cisauk, 28 Agustus 2008, tribute buat angin puting beliung sore hari)
Friday, May 29, 2009
Elegi Hujan Jakarta
Kenapa tak kutemui sama?
Dimana saat mendung disambut dengan senyum dan harapan, tetes pertama adalah darah yang kembali mengalir
Setelahnya mimpi terajut dalam pelangi warna-warni
Dan bumi seperti remaja kenes, merias diri dengan pernik hijau rumput dan warna bunga-bunga
Dan wangi parfum yang semerbak, wangi tanah basah dan alang2 membiusku
Tapi disini….?
Dikota ini mendung disambut rasa curiga dan cemas
Tetes pertama adalah caci maki berarti derita
Karena setelahnya bumi muntah segala penat dari seluruh luka
Yang telah lama busuk menahun nanah tertahan
Ah…. banjir datang lagi?
(raksaka: Jakarta, 25 Agustus 2008)
Dimana saat mendung disambut dengan senyum dan harapan, tetes pertama adalah darah yang kembali mengalir
Setelahnya mimpi terajut dalam pelangi warna-warni
Dan bumi seperti remaja kenes, merias diri dengan pernik hijau rumput dan warna bunga-bunga
Dan wangi parfum yang semerbak, wangi tanah basah dan alang2 membiusku
Tapi disini….?
Dikota ini mendung disambut rasa curiga dan cemas
Tetes pertama adalah caci maki berarti derita
Karena setelahnya bumi muntah segala penat dari seluruh luka
Yang telah lama busuk menahun nanah tertahan
Ah…. banjir datang lagi?
(raksaka: Jakarta, 25 Agustus 2008)
Thursday, May 28, 2009
DEATH IS A FISHERMAN
by :Benjamin Franklin
Death is a fisherman, the world we see
His fish-pond is, and we the fishes be;
His net some general sickness; howe'er he
Is not so kind as other fishers be;
For if they take one of the smaller fry,
They throw him in again, he shall not die:
But death is sure to kill all he can get,
And all is fish with him that comes to net.
Source : http://www.poetry-online.org/scott_sir_walter_border_ballad.htm
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Death is a fisherman, the world we see
His fish-pond is, and we the fishes be;
His net some general sickness; howe'er he
Is not so kind as other fishers be;
For if they take one of the smaller fry,
They throw him in again, he shall not die:
But death is sure to kill all he can get,
And all is fish with him that comes to net.
Source : http://www.poetry-online.org/scott_sir_walter_border_ballad.htm
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
The Road Not Taken
by Robert Frost
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I-
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
source : http://famouspoetsandpoems.com/poets/robert_frost/poems/528
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;
Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,
And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.
I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I-
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.
source : http://famouspoetsandpoems.com/poets/robert_frost/poems/528
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Wednesday, May 27, 2009
Let It Go
Laut pasang,
Angin Buritan,
Kompas yang terbuka:
Peta telah digelar
Maka angkatlah sauh yang memberatimu bila;
Kau ingin berlayar ke laut lepas
( let it go, Pai… you’ll not going to anywhere if you can’t let it go! )
Raksaka, 14 Juli 2008
Angin Buritan,
Kompas yang terbuka:
Peta telah digelar
Maka angkatlah sauh yang memberatimu bila;
Kau ingin berlayar ke laut lepas
( let it go, Pai… you’ll not going to anywhere if you can’t let it go! )
Raksaka, 14 Juli 2008
BATAS GAMANG
Sejuta rintih,
Hujan yg tak juga reda….
Mengandung benih pelangi
(Haruskah aku tumbang sekarang?)
Bilik Raksaka :magelang, 11 juni 2008
Hujan yg tak juga reda….
Mengandung benih pelangi
(Haruskah aku tumbang sekarang?)
Bilik Raksaka :magelang, 11 juni 2008
Penjaga Hati
Suaranya bening meski,
terkubur riuh caci maki ratap dan juga tawa
Matanya tajam meski,
Dipaksa buta gemerlap dan warna-warni dunia
Telinganya peka meski,
Ditutup puja-puji sanjungan yang melenakan
Kata-katanya bijak meski,
Diingkari ego keserakahan ambisi dan kesombongan
Namun ia tetap hidup walau kita coba menfikan dan membunuhnya
Cobalah bunuh dia dan kuburkan dalam debu serta jelaga hitam
Tak akan mati ia kecuali akan datang dalam sepimu,
lalu laksana hakim ia akan menuntut hak yang kau rampas
Dia si penjaga hati
Nyawa dari rasa
Nafas dari kasih sayang
Darah bagi kebajikan
Bersama sabda agung Kun Faayakun saat setetes air hina membentuk darah dan daging,
Ia, si penjaga hati disemaikan untuk bersama tumbuh dalam diri kita
Lalu bagaimana bisa kehidupan kita akan terlepas darinya?
Ia hidup dalam diri kita namun seringkali kita mengingkarinya
Kesombongan manusia?
Ataukah ini kebodohan manusia ?
Cobalah berdamai dengan sepi
Agar tabir terbuka dan kita bisa mendengar dengan telinganya,
melihat dengan matanya,
berkata dengan bahasanya,
menyentuh dengan rasanya,
Cobalah sejenak kau tutup mata fanamu,
kau tulikan telinga duniamu dan
kau matikan rasa indrawimu
Sesungguhnya matamu, telingamu, hidungmu, lidahmu, kulitmu
Adalah dinding yang tebal yang menjauhkanmu dari makna sejati
Makna sejati penciptaan manusia
Maka kenalilah ia,
Ada yang memanggilnya nurani, sedang aku menamainya:
Si Penjaga Hati
Magelang, 27 Okrtober 2007
terkubur riuh caci maki ratap dan juga tawa
Matanya tajam meski,
Dipaksa buta gemerlap dan warna-warni dunia
Telinganya peka meski,
Ditutup puja-puji sanjungan yang melenakan
Kata-katanya bijak meski,
Diingkari ego keserakahan ambisi dan kesombongan
Namun ia tetap hidup walau kita coba menfikan dan membunuhnya
Cobalah bunuh dia dan kuburkan dalam debu serta jelaga hitam
Tak akan mati ia kecuali akan datang dalam sepimu,
lalu laksana hakim ia akan menuntut hak yang kau rampas
Dia si penjaga hati
Nyawa dari rasa
Nafas dari kasih sayang
Darah bagi kebajikan
Bersama sabda agung Kun Faayakun saat setetes air hina membentuk darah dan daging,
Ia, si penjaga hati disemaikan untuk bersama tumbuh dalam diri kita
Lalu bagaimana bisa kehidupan kita akan terlepas darinya?
Ia hidup dalam diri kita namun seringkali kita mengingkarinya
Kesombongan manusia?
Ataukah ini kebodohan manusia ?
Cobalah berdamai dengan sepi
Agar tabir terbuka dan kita bisa mendengar dengan telinganya,
melihat dengan matanya,
berkata dengan bahasanya,
menyentuh dengan rasanya,
Cobalah sejenak kau tutup mata fanamu,
kau tulikan telinga duniamu dan
kau matikan rasa indrawimu
Sesungguhnya matamu, telingamu, hidungmu, lidahmu, kulitmu
Adalah dinding yang tebal yang menjauhkanmu dari makna sejati
Makna sejati penciptaan manusia
Maka kenalilah ia,
Ada yang memanggilnya nurani, sedang aku menamainya:
Si Penjaga Hati
Magelang, 27 Okrtober 2007
HUJAN DALAM HATI
Hujan itu,
Selayaknya tak lagi turun
Seiring musim yang berlalu mengubur seteru
Kecamuk badai yang singgah di hatimu harusnya berlalu
.
Betapa keras usaha menghapus jejak mendung di sudut matamu
Sembunyi di balik mantra kata dan tawa,
berdalih lewat mentari yang kau perangkap-paksa di bibirmu
Untuk apa, bila hujan tak juga reda?
.
Meski tak menderas dan meninggalkan jejak di sudut mata
Suara rinai dan dingin,
kutahu menusukkan jarum-jarum beku di dadamu
Mengalirkan sungai-sungai tak terangkum dalam peta
.
Kau terjebak dalam mantra dan tawa parau
Terbakar oleh mentari yang berontak di bibirmu
Dan kau makin hanyut dalam sungai-sungai gelap tak bermuara
Menyeretmu dalam siklus hujan tak putus di gelap langit hatimu
.
O, berhenti saja terus mengingkari
Mengapa tak kau coba lebih mengenal luka?
Jangan kau lari….. karena,
luka adalah satu kepingan yang membentuk hati manusia
.
Lihatlah, siapa yang tak hidup dengan luka?
Kalau kau mau….sebentar saja untuk merenung
Lihatlah, hujan di langitmu juga menyemai badai di dadaku
Kau tak sendiri!
.
.
Maka biarkan luka jangan kau ingkari
Ia bangkai yang terurai menyuburkan dataran hati
Agar pepohonan tumbuh mengakar kuat,
Lebih kuat untuk menyambut badai yang pasti datang, seiring musim yang pasti kembali
Magelang, 14 Des 06, After Rain
Selayaknya tak lagi turun
Seiring musim yang berlalu mengubur seteru
Kecamuk badai yang singgah di hatimu harusnya berlalu
.
Betapa keras usaha menghapus jejak mendung di sudut matamu
Sembunyi di balik mantra kata dan tawa,
berdalih lewat mentari yang kau perangkap-paksa di bibirmu
Untuk apa, bila hujan tak juga reda?
.
Meski tak menderas dan meninggalkan jejak di sudut mata
Suara rinai dan dingin,
kutahu menusukkan jarum-jarum beku di dadamu
Mengalirkan sungai-sungai tak terangkum dalam peta
.
Kau terjebak dalam mantra dan tawa parau
Terbakar oleh mentari yang berontak di bibirmu
Dan kau makin hanyut dalam sungai-sungai gelap tak bermuara
Menyeretmu dalam siklus hujan tak putus di gelap langit hatimu
.
O, berhenti saja terus mengingkari
Mengapa tak kau coba lebih mengenal luka?
Jangan kau lari….. karena,
luka adalah satu kepingan yang membentuk hati manusia
.
Lihatlah, siapa yang tak hidup dengan luka?
Kalau kau mau….sebentar saja untuk merenung
Lihatlah, hujan di langitmu juga menyemai badai di dadaku
Kau tak sendiri!
.
.
Maka biarkan luka jangan kau ingkari
Ia bangkai yang terurai menyuburkan dataran hati
Agar pepohonan tumbuh mengakar kuat,
Lebih kuat untuk menyambut badai yang pasti datang, seiring musim yang pasti kembali
Magelang, 14 Des 06, After Rain
A Dream Girl
A poet by Carl Sanburg
You will come one day in a waver of love,
Tender as dew, impetuous as rain,
The tan of the sun will be on your skin,
The purr of the breeze in your murmuring speech,
You will pose with a hill-flower grace.
You will come, with your slim, expressive arms,
A poise of the head no sculptor has caught
And nuances spoken with shoulder and neck,
Your face in pass-and-repass of moods
As many as skies in delicate change
Of cloud and blue and flimmering sun.
Yet,
You may not come, O girl of a dream,
We may but pass as the world goes by
And take from a look of eyes into eyes,
A film of hope and a memoried day.
source :http://www.poetry.com/LovePoems/lovepoem.asp?id=532
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
You will come one day in a waver of love,
Tender as dew, impetuous as rain,
The tan of the sun will be on your skin,
The purr of the breeze in your murmuring speech,
You will pose with a hill-flower grace.
You will come, with your slim, expressive arms,
A poise of the head no sculptor has caught
And nuances spoken with shoulder and neck,
Your face in pass-and-repass of moods
As many as skies in delicate change
Of cloud and blue and flimmering sun.
Yet,
You may not come, O girl of a dream,
We may but pass as the world goes by
And take from a look of eyes into eyes,
A film of hope and a memoried day.
source :http://www.poetry.com/LovePoems/lovepoem.asp?id=532
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Monday, May 25, 2009
TAK TAHU DIRI
Betapa masih,
Aku berhitung tentang pahala dan dosa;
seperti pedagang culas
Menakar-nakar apa yang telah Kau beri;
apa yang kuberi?
O, betapa keserakahan, keangkuhan dan kepicikan
Lebih dekat dari detak jantung, hingga luput terlihat olehku…..
Ampuni hamba…… ampuni hamba…..!!!!
Magelang, 12’04’06
Aku berhitung tentang pahala dan dosa;
seperti pedagang culas
Menakar-nakar apa yang telah Kau beri;
apa yang kuberi?
O, betapa keserakahan, keangkuhan dan kepicikan
Lebih dekat dari detak jantung, hingga luput terlihat olehku…..
Ampuni hamba…… ampuni hamba…..!!!!
Magelang, 12’04’06
Saturday, May 23, 2009
KEPALA BATU
Berderak retak,
Kata-kata berserak dalam lingkar sepi
Kau tutup rapat pintu dan jendelamu,
Mengurung diri dalam kamar ego mu
Ah, bosan aku memanggil-manggil dirimu
Waktu berlalu dan kau tak berubah
Masih saja batu bernyawa
Magelang,2 Juni 07
Kata-kata berserak dalam lingkar sepi
Kau tutup rapat pintu dan jendelamu,
Mengurung diri dalam kamar ego mu
Ah, bosan aku memanggil-manggil dirimu
Waktu berlalu dan kau tak berubah
Masih saja batu bernyawa
Magelang,2 Juni 07
Friday, May 22, 2009
Puisi Rahasia
Kucari bentuk, remuk…..
Kacuri Hati, mati!
Kucuri cahaya, padam….
Kau cari jalan, terjal!
Setangkai demi setangkai ilalang rebah di penghujung senja
Sembunyi dari bayang-bayang matahari,
haruskah hari ini lagi lagi terlewati dalam bayang bayang?
Kaucari bentuk, remuk…..
Kucuri hati, mati!
Kaucuri cahaya, padam….
Ku cari jalan, terjal!
(pada senja kita tuliskan puisi rahasia)
Magelang, 120507
Kacuri Hati, mati!
Kucuri cahaya, padam….
Kau cari jalan, terjal!
Setangkai demi setangkai ilalang rebah di penghujung senja
Sembunyi dari bayang-bayang matahari,
haruskah hari ini lagi lagi terlewati dalam bayang bayang?
Kaucari bentuk, remuk…..
Kucuri hati, mati!
Kaucuri cahaya, padam….
Ku cari jalan, terjal!
(pada senja kita tuliskan puisi rahasia)
Magelang, 120507
AKU BUKAN KARANG
Mendung tak tercatat disudut mata,
bukan berarti hujan tiada.
Ia menderas, hanya dilangit gelap:
hati yang kedinginan dalam sepi dan nyeri.
Kulit tak koyak oleh luka,
tak berarti darah tak mengucur.
Ia menganak sungai, hanya dicabik rindu:
harapan yang tersembelih dalam sepi dan nyeri.
O, Betapa aku letih kau gambar sebagai karang!
(Magelang, 19’10’96)
bukan berarti hujan tiada.
Ia menderas, hanya dilangit gelap:
hati yang kedinginan dalam sepi dan nyeri.
Kulit tak koyak oleh luka,
tak berarti darah tak mengucur.
Ia menganak sungai, hanya dicabik rindu:
harapan yang tersembelih dalam sepi dan nyeri.
O, Betapa aku letih kau gambar sebagai karang!
(Magelang, 19’10’96)
Thursday, May 21, 2009
KUBUR BEKU
Kubur beku
Setangkai kamboja layu galau
Mencoba bertahan diranting pucat pasi
Wahai, angin….sudilah sejenak berhenti
Liahatlah…..meski tak senyaman rumah,
Namun ku tahu kau terlanjur pulas terbaring diam
Menyisakan sebulir janji yang terperangkap dalam setetes air mata yang nyaris kering
Wanita yang terlanjur kaku……diantara kita masih ada seteru
Membungkam kata-kata kita terlalu lama terperangkap
Jalan-jalan, persimpangan dan kekecewaan
Semua itu tak berarti lagi
Semua itu tak lagi sempat terlintas dalam benakku
Terlambatkah aku untuk sekedar meminta maaf?
Kubur beku
Setangkai kamboja layu galau
Mencoba bertahan diranting pucat pasi
Wahai, angin….titip maaf yang belum sempat terucap……
(Dark memories….rest in peace, Re yg manis….)
Setangkai kamboja layu galau
Mencoba bertahan diranting pucat pasi
Wahai, angin….sudilah sejenak berhenti
Liahatlah…..meski tak senyaman rumah,
Namun ku tahu kau terlanjur pulas terbaring diam
Menyisakan sebulir janji yang terperangkap dalam setetes air mata yang nyaris kering
Wanita yang terlanjur kaku……diantara kita masih ada seteru
Membungkam kata-kata kita terlalu lama terperangkap
Jalan-jalan, persimpangan dan kekecewaan
Semua itu tak berarti lagi
Semua itu tak lagi sempat terlintas dalam benakku
Terlambatkah aku untuk sekedar meminta maaf?
Kubur beku
Setangkai kamboja layu galau
Mencoba bertahan diranting pucat pasi
Wahai, angin….titip maaf yang belum sempat terucap……
(Dark memories….rest in peace, Re yg manis….)
ES dan API
Masih terdiam oleh dingin memamah balung sumsumku
Tak puas rupanya setelah semalaman,
dan malam-malam sebelumnya ia rakus menghabisi jantung-hatiku,
O, kebekuan ini….
Tak juga cair meski sungguh putus asa sekian lama mencari-cari
Sedikit bara yang kau renggut dariku
Api di dadamu…..
Gunung es didadaku
Semestinya kita bisa bersepakat untuk saling mengisi dada kita
Dan kita akan terbebas dari luka kita masing-masing namun,
Kau memilih pergi dengan nyala dendam didadamu,
Dan kau wariskan sebongkah luka yang dulu membekukanmu bertahun-tahun
Luka….
Biar sedingin es atau sepanas api,
Sama saja…!!!
Raksaka, ditulis dipagi yang dingin 130307
Tak puas rupanya setelah semalaman,
dan malam-malam sebelumnya ia rakus menghabisi jantung-hatiku,
O, kebekuan ini….
Tak juga cair meski sungguh putus asa sekian lama mencari-cari
Sedikit bara yang kau renggut dariku
Api di dadamu…..
Gunung es didadaku
Semestinya kita bisa bersepakat untuk saling mengisi dada kita
Dan kita akan terbebas dari luka kita masing-masing namun,
Kau memilih pergi dengan nyala dendam didadamu,
Dan kau wariskan sebongkah luka yang dulu membekukanmu bertahun-tahun
Luka….
Biar sedingin es atau sepanas api,
Sama saja…!!!
Raksaka, ditulis dipagi yang dingin 130307
Tuesday, May 19, 2009
LELAKI DI TENGAH HUJAN
Lelaki yang terdiam di tengah hujan,
Untuk siapa kau menunggu?
Lihatlah satu lagi musim telah lewat, satu lagi mimpi berkalang luka
Sampai kapan kau bertahan;
sampai kapan kau menahan?
(Ah, biar saja ku menunggu hingga membatu
Karena janjiku bukanlah untuk musim
Harapanku lebih bernyawa
dari mimpi yang hanya hidup dalam lelap
Kau tak kan pernah mengerti, hanya yang rindu bisa tahu
Dan, biar kuberitahu
Yang kau lihat sebagai luka, ini adalah air suci yang membilas semua sifat angkuhku)
Lelaki yang terikat oleh janji,
Untuk apa terus teguh?
Lihatlah satu demi satu mereka mencemooh
Tak sadarkah semua kata-kata terlalu purba untuk terucap?
Dan tak ada lagi yang tersisa selain sejarah ditelan waktu
(Tahu apa kau?!
Padanya kutemukan cahaya yang menuntun hidupku
Mendekapnya adalah hela nafas dan detak jantungku
Saksikanlah…….padanya hidupku menuju
Kau tak kan bisa menjauhkan aku meski kau terus mencoba
Dan, biar kukatakan kepadamu;
Janji ini bukanlah ikatan, tapi kekuatan
Hanya yang menanti bisa ngerti)
Dan hujan makin deras menemani lelaki itu
Yang setiap hujan turun, berjalan sendiri sambil menyanyikan lagu rindu
(Magelang, 070307……midnight rain)
Untuk siapa kau menunggu?
Lihatlah satu lagi musim telah lewat, satu lagi mimpi berkalang luka
Sampai kapan kau bertahan;
sampai kapan kau menahan?
(Ah, biar saja ku menunggu hingga membatu
Karena janjiku bukanlah untuk musim
Harapanku lebih bernyawa
dari mimpi yang hanya hidup dalam lelap
Kau tak kan pernah mengerti, hanya yang rindu bisa tahu
Dan, biar kuberitahu
Yang kau lihat sebagai luka, ini adalah air suci yang membilas semua sifat angkuhku)
Lelaki yang terikat oleh janji,
Untuk apa terus teguh?
Lihatlah satu demi satu mereka mencemooh
Tak sadarkah semua kata-kata terlalu purba untuk terucap?
Dan tak ada lagi yang tersisa selain sejarah ditelan waktu
(Tahu apa kau?!
Padanya kutemukan cahaya yang menuntun hidupku
Mendekapnya adalah hela nafas dan detak jantungku
Saksikanlah…….padanya hidupku menuju
Kau tak kan bisa menjauhkan aku meski kau terus mencoba
Dan, biar kukatakan kepadamu;
Janji ini bukanlah ikatan, tapi kekuatan
Hanya yang menanti bisa ngerti)
Dan hujan makin deras menemani lelaki itu
Yang setiap hujan turun, berjalan sendiri sambil menyanyikan lagu rindu
(Magelang, 070307……midnight rain)
ROTASI
Malam hitam, penat menanggung rembulan
Malu-malu dia datang dalam temaram,
untuk siapa?
Sembunyi saja selamanya dibalik kabut…..
Larilah, dan jelajahi seluas langit membentang,
Kau pasti kembali, seiring rotasi tak putus yang mustahil kau lawan…..
dan,
Pada saat itu, sekali lagi purnama
akan kujumpai diwajahmu
Sebab, itulah hidup yang harus kita
jalani
Ada kalanya hati tersabit lalu mati,
Ada kalanya hati purnama lalu
terang…..
Ah, andai kau mengerti, tentu kita tak
perlu saling diam
Raksaka Nala
Malu-malu dia datang dalam temaram,
untuk siapa?
Sembunyi saja selamanya dibalik kabut…..
Larilah, dan jelajahi seluas langit membentang,
Kau pasti kembali, seiring rotasi tak putus yang mustahil kau lawan…..
dan,
Pada saat itu, sekali lagi purnama
akan kujumpai diwajahmu
Sebab, itulah hidup yang harus kita
jalani
Ada kalanya hati tersabit lalu mati,
Ada kalanya hati purnama lalu
terang…..
Ah, andai kau mengerti, tentu kita tak
perlu saling diam
Raksaka Nala
Monday, May 18, 2009
CINTA SEBATANG LILIN
Nyalakanlah api itu padaku, cinta
Meski nanti seluruhku lenyap dan lebur, nyalakanlah!
Tak kusesali takdir yang mengharuskan aku hilang meleleh
Demi menjelma sedikit suluh bagi gelapmu
Namun satu pintaku kepadamu ,cinta
Ingatlah aku suatu saat nanti bila
Kau pandangi cahaya bintang ingatlah bahwa pernah
Kau punyai sekerdip terang meski tak secerlang bintang2 itu
Kuakui panas dan sakit namun
Biarlah, karena aku hanya sebatang lilin
Dan lilin tak berguna bila tak leleh terbakar
Maka ijinkalah aku berguna untukmu, cinta
Nyalakan api itu sekarang!
Raksaka Nala
Magelang, 30 September 2007
Meski nanti seluruhku lenyap dan lebur, nyalakanlah!
Tak kusesali takdir yang mengharuskan aku hilang meleleh
Demi menjelma sedikit suluh bagi gelapmu
Namun satu pintaku kepadamu ,cinta
Ingatlah aku suatu saat nanti bila
Kau pandangi cahaya bintang ingatlah bahwa pernah
Kau punyai sekerdip terang meski tak secerlang bintang2 itu
Kuakui panas dan sakit namun
Biarlah, karena aku hanya sebatang lilin
Dan lilin tak berguna bila tak leleh terbakar
Maka ijinkalah aku berguna untukmu, cinta
Nyalakan api itu sekarang!
Raksaka Nala
Magelang, 30 September 2007
TENTANG LUKA
Jangan kau katakan aku hilang sebab,
Hanya kau tak mau mengakui keberadaanku
Jangan kau katakan aku menyakitimu sebab,
Pisau itu kaulah yg memegang hulunya
Mohon sejenak berdamailah dengan sunyi
Lalu tanyakan pada kunang-kunang yang sebatang kara itu
Dimana gerangan darah tumpah dan luka menganga
Ia akan tunjukkan kolam air mata yang bertahun melumut dalam diri kita
Raksaka Nala
(magelang, 16 oktober 2007)
Hanya kau tak mau mengakui keberadaanku
Jangan kau katakan aku menyakitimu sebab,
Pisau itu kaulah yg memegang hulunya
Mohon sejenak berdamailah dengan sunyi
Lalu tanyakan pada kunang-kunang yang sebatang kara itu
Dimana gerangan darah tumpah dan luka menganga
Ia akan tunjukkan kolam air mata yang bertahun melumut dalam diri kita
Raksaka Nala
(magelang, 16 oktober 2007)
TENTANG RIE
Kuhapus nomor handphone mu dari daftar phone book ku, namun
Nomormu terlanjur tercatat dalam alam bawah sadarku
Kubakar foto dirimu dalam api kemarahanku namun,
Bayangan senyummu terlanjur menjadi cahaya mataku
Kubungkam dalam sepi nyeri suaramu dari ruang dengarku namun,
Derai tawamu terlanjur menjadi detak jantungku
Kubuang semua tentangmu, kenangan hari-hari bersamamu namun
Semua itu telah menjadi bayangan yg selalu mengikutiku
Haruskah seluruh diriku hilang, baru semua tentang dirimu dapat terhapuskan?
Raksaka Nala
(Magelang,16 oktober 2007)
Nomormu terlanjur tercatat dalam alam bawah sadarku
Kubakar foto dirimu dalam api kemarahanku namun,
Bayangan senyummu terlanjur menjadi cahaya mataku
Kubungkam dalam sepi nyeri suaramu dari ruang dengarku namun,
Derai tawamu terlanjur menjadi detak jantungku
Kubuang semua tentangmu, kenangan hari-hari bersamamu namun
Semua itu telah menjadi bayangan yg selalu mengikutiku
Haruskah seluruh diriku hilang, baru semua tentang dirimu dapat terhapuskan?
Raksaka Nala
(Magelang,16 oktober 2007)
Subscribe to:
Posts (Atom)
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --
-- confucius --