Thursday, December 29, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Delapan)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi kedelapan dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Delapan)




Ada deru haru sembunyi di celah sepi
Diam-diam mematahkan tawamu
Dan kau gagal memerangkap matahari dibibirmu
Tinggal serak nanarnya :
                                   api itu

Tahukah kamu, apa yang tak nampak dan pecah itu
Serupa serpih kaca tajam menakik wajah (ku)
Lalu perih dan letih...
kadang,
Sesekali akupun ingin jadi kabut
Sesekali akupun ingin menjelma saujana
Menyublim dan mengukur jarak
Detak diam-diam

Kadang... seperti sekarang ini

Raksaka, 29 Des 2011 - malam dan hujan yang menjelma kabut

Wednesday, December 28, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Tujuh)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi ketujuh dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Tujuh)





Malam-malam begini
Saat hujan menyapih bibirku
Namamu samar dalam tiap derai nya
Disulam menjadi batu dalam dada
Ada detak jam yang diam-diam menyelinap
Menanam hening di jantung keriuhan
Lalu tumbuh seribu alang-alang
diam,tegak, menusuk-nusuk malam

Lalu langit luka
Lalu hujan lagi
Lalu kabut
Lalu....


Raksaka, 28 Des 2011 - malam dan hujan

Thursday, December 15, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Enam)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi keenam dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Enam)




Angin membisikkan kata pada awan
Awanpun berubah gelisah menanggung beban
                                                                    (sebuah rahasia yang harus dikunci)

Waktu memintal jaring-jaring, makin erat
Awan menua, mendung menyulap udara jadi dingin
Ah... kurasa hari ini kembali hujan akan turun


Hujan itu
Tiap tetes adalah rindu dan cinta yg harus kutahan
Biar luruh terserap musnah oleh bumi tenang hingga,
suatu saat nanti kan kujelmakan mata air
tempat kau melepas dahaga... lalu hirup, reguklah tanpa sisa


Raksaka, 15 Des 2011 - sore yang hujan

Saturday, December 10, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Lima)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi kelima dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Lima)



Peta telah digelar, bersimpangan
Kenali empat penjuru angin
Setiap kiblatnya memiliki tanda yang harus kau eja
Sebab hidup bukanlah  semata garis lurus dan kadang  harus menjejaki setiap arah sebelum
tuntas keyakinanmu untuk melangkah
Maka bacalah tiap arah dan kenali jalanmu


Di barat...matahari terkubur tidur :
                                                  dalam peluk semesta, meletakkan tanda pertama
Di timur... angin bersiutan menari:
                                                  menggambar awan-awan pecah tak jadi bentuk
Di utara... cuaca berubah:
                                      hujan yang kehilangan mukim, musim yang terluka
Di selatan... bintang tersesat :
                                             tertatih menyapih gelap, cahayanya masih tersisa


Tarik garisnya, lalu lihat... dimana kita meletakkan titik
temu

Raksaka, 10 Des 2011 - tengah malam

Monday, November 28, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Empat)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi keempat dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Empat)




Menyisip dalam sudut yang tak terekam mata
Aku meniti hening lepas dari radarmu
Diam,menghunus waspada
Mengendap-endap rimbun hutan kata-kata

Ya, aku memang sedang sembunyi,
bukan untuk lari....tapi menunggu


( andai kau melihatku, aku menjelma serigala lapar bertaring sunyi)


Raksaka Nala, 28 nov 2011 -dini hari

Sunday, November 27, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Tiga)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi ketiga dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Tiga)




Ada sisa sabit dalam lengkung senyummu
Ada kabut di sudut telaga matamu
Kita tertawa dalam permainan yang kau cipta
Tak perlu tentukan siapa kalah siapa menang, katamu
Sebab yang kita mau hanya mengingkari luka

ah,

Kau masih saja melipat rahasia,
Tidakkah kau tahu, mendung itu tak bisa luput dari mataku?

Raksaka Nala  271111 : jam satu siang, tanpa hujan

Friday, November 18, 2011

Sembilan Penggalan Tanpa Judul (Dua)

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi kedua dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Dua)

Masih mencoba memahami petuah para sepuh,
Dalam dada itu bersemayam lautan sabar


Tetapi debar selalu cabar
Gelombang tak henti bergulung dalam dada
Menafikan percaya hingga kandas
Dalam palung tergelap lalu cahaya satu persatu padam
Badai itu, merumah dalam dada.... lalu dimana,
                                                    letak sabar itu?

Masih mencoba memahami petuah para sepuh,
Dalam dada itu bersemayam lautan sabar
Yang ternyata kutemui selalu bergulung seperti badai
Meredamnya...itulah sabar


Raksaka Nala  191111 : sepuluh-delapan belas - malam

Sembilan Penggalan Tanpa Judul ( Satu )

Ini adalah puisi yang aku kembangkan dari bait-bait acak yang kutulis dalam status-status facebookku. Ada sembilan bait yang pernah kutulis tanpa kuniatkan menjadi puisi, tetapi belakangan ini aku merasa sayang kalau itu hanya menjadi  status saja.... maka aku meniatkan menjadikannya utuh.  Dan ini... puisi pertama dari sembilan bait acak itu



Sembilan Penggalan Tanpa Judul


(Satu)

Imaji mati jadi jeruji-jeruji
Waktu membatu terbelenggu
Pada titik yang selalu terpenggal lalu koma
Seolah dekat padahal hanya saujana
Konstan... sebanding lurus kecepatan dan jarak tercipta


Partitur terserak ditiup angin
Dawai-dawai berkarat, namun lagu terlanjur melekat dalam lubang
Resonansi sunyi menyihir mencipta nada
Menyusunnya dalam skala pentatonic yang merobek
Lalu seperti ayunan arpegio
Melambungkan, menjatuhkan dengan jarak .... rindu itu bisu
Hanya senyum yang merupa keniscayaan,
Bukan bahagia ataupun luka, lalu apa?



Raksaka Nala  181111 : dua dinihari



Saturday, August 6, 2011

Senyum

Rembulan sabit semalam,
Kupungut, lalu kutebas awar-awar
                  belukar yang menghampar di bibirku
Siangi pagi dengan tajamnya
Terasah oleh keras batuan yang bergelayut dipundak
Maka lihatlah:

Matahari terbit dibibirku,untukmu
Seulas, dan pulaslah kau

 Raksaka, 4 dinihari : 06082011

Wednesday, August 3, 2011

Bertahan

Malam ini terluka oleh sabit
langit yang mencacah - remah keyakinan
Pada luka yang digarami sepi itu tiupkanlah mantra
Kekal dalam pencarian hingga waktu mengakui dan hijab terbuka
Sebarkan!
Langit adalah ladang untuk menanam
Setiap dari remah ini adalah benih cahaya lalu tunggulah!
Saat sabit menggenapi dirinya dengan wajahnya yang penuh
Dan benih-benih cahaya tumbuh menjadi bintang-bintang
Saat itu rasi akan terbentuk dan ikutilah menuju pulang
Arah itu benar atau salah, hanya butuh keyakinan dan waktu untuk membuktikannya
Bertahan dan camkan itu!



:untuk aku



Raksaka Nala, usai sahur, 4 dinihari 030811

Thursday, July 21, 2011

Tak Perlu Alasan

detik -tikam- nadi
sepi rapi kemas sakit
jadikan bingkisan untuk pesta
: menarilah!


( aku? menepi dan tidur saja)

lalu,
rotasi  waktu yg tak pernah melambat,
memangsa setiap detik dengan kekosongan, aku... merindukanmu
hai,manis.... apa khabar?


kamu, seperti biasa....menyimpul temali
dibibirmu, labirin sunyi


tanyamu :
kenapa masih bertahan?

sayang,
sebab cinta tak mengenal alasan
demikian juga bertahan
: kataku


raksaka nala, 210711 dini hari

Tuesday, July 19, 2011

UDARA

Sejak kusadari dirimu udara
Menari sebagai angin yang menyulap cuaca di setiap penjuru
Kemanapun engkau awan kan menjadi gugup dan kehilangan bentuk : pesonamu
Dedaunan berbisik, menelisik segala gosip yang datang bersamaan datangmu
Lalu, di tiap ladang kau kumpulkan awan lalu kau warnai kelabu, banyak yang terlanjur membadai
                                                                   ah, betapa sihirmu adalah hujan yang tak diharapkan

Maka,


Kuniatkan diriku  diam menunggu
Berkiprahlah sesukamu, sampai letih kau menari... kuterima dera derai hujan yang kau cipta,
kuserap..kusimpan dalam dada sebab kini aku bumi
Lalu jika musim yang mengurung masa lalu itu tuntas,
Tumbuhkanlah..benih-benih percayamu. Tak harus pada bumi... tetapi pada cinta

Raksaka Nala 19 Juli 2011

Saturday, July 9, 2011

Resonansi II

Pancaroba tiba dilangitmu,kini 

Mengirimkan angin yang gelisah menggambar awan-awan buyar

Lalu menyemai benih-benih hujan : dimatamu

Ah... ingin kupeluk kau dengan pelukan yang paling bumi

Pijak aku! niscaya kakimu akan mengakar dan melenturlah seperti halnya rumpun bambu

Andai kau tahu...

Musim silih berganti dilangitmu dan hatiku ikut serta, 

                                                                              kutelan... badaimu! 

@Sugar


Raksaka,Friday, July 8, 2011 at 9:37pm

MAAF

Ada dendam, menggumpal di dadamu,
Sepi dijantungku, rongga-rongga kosong
Tergoda, lupa tanda
Rasa hanya pijar sekejap lalu menelikung dada,sesak
Dua insan gamang saling mengeja
Sesalku, matinya logika : kita

Bukan...bukan seperti ini yang kuinginkan
Maka tikam saja jantungku agar henti detak
Sebab kutak bisa menahan bisingnya
Suara memanggil dalam setiap setiap pacu jantungku
Maafkan aku, yang menginginkanmu!

: sugar




Raksaka, Wednesday, April 13, 2011 at 7:44am

Sunday, May 15, 2011

RESONANSI

Sebab jantungnya tak lagi berdetak, akibat ditikam sepi
Cahaya berlesatan hanya sekejap, hidup..lalu gelap
Begitu berulang-ulang hingga bosan
Menepi, lalu berharap esok lupa
Biarkan terbawa angin

dan

Friday, April 22, 2011

SOLITUDE

Pahamilah bukan sepi
Tapi hening mengajarkan untuk mendengar,
Detak,sentak ruang -dengar... paling tajam
Kedip,tembus-picik... lampaui saujana
Jadi tak perlu iba sebab sendiri
Tak selamanya sunyi


R.N - tiga dinihari, 22 April 2011

Wednesday, April 20, 2011

Obituary

Angin bisu
Sebab fosil kata yang hilang mendadak hidup, menelikung lidah
Mantra purba yang terlupa kini lugas menuliskan obituary, menagih tumbal
Sebuah makna dipertaruhkan
Antara persembahan ikhlas, atau pengorbanan karna terpaksa

Sudah, tak perlu lagi argumentasi
Sebab liku lelaku cukup, menuliskan risalah cacat
Catat saja dan ukir tiap kelu menjadi huruf-huruf
Agar nisan dikenali sebagai penanda: terbunuhnya logika


Terbakar

Dendam di dadamu mencipta lubang-lubang sepi
Sepi dijantungku, mencipta kolam-kolam rindu
Tergoda, lupa makna tentang hakikat


Rasa hanya pijar berkejaran dengan hujan,
sekejap lalu menelikung dada,sesak

Sunday, April 10, 2011

Serpih I (Sebuah Prototype)

Tuhan Menjawab Dengan Cara Nya

Ini, sebuah kisah tentang Bintang dan Matahari

Bintang, pemuda yang kaku, pendiam dan keras kepala
Matahari, gadis periang, cerdas dan sedikit manja


Kisah mereka berawal dri sebuah SMU, dimana Bintang dan Matahari menuntut ilmu. Bintang satu tingkat lebih senior dari matahari. Mereka dipertemukan dalam satu wadah kegiatan extrakurikuler.

Bagi Bintang, cewek-cewek itu sama saja, suka membuang-buang waktu dengan bergosip tentang cowok-cowok tajir, bagi dia cewek itu ga bisa dipercaya, suka memberi harapan pada banyak cowok untuk keuntungan mereka : leluasa memilih yang terbaik diantara yg terbaik ( bagi bintang itu hal yg memuakkan...baginya, lelaki itu bukanlah pilihan yg bisa seenaknya dipilah-pilah lalu disingkirkan begitu saja,setelah nemu yg lebih baik). Karena hal itu, Bintang tak pernah ramah pada cewek Tatapan matanya selalu tajam menghunjam bila bicara dengan cewek. Itu sebabnya nggak ada yg berani menantang nya beradu mata, kecuali.... Matahari!

Matahari, gadis manja dan periang... namun berani menantang mata Bintang, suatu ketika...... hanya 1 menit, dan itu cukup membuat Bintang tahu bahwa matahari memang beda. Singkat cerita Bintang jatuh cinta dan gayung bersambut. Bintang dan matahari menjadi sepasang kekasih.

Perasan cinta Bintang semakin dalam. Suatu ketika, saat dia sedang sholat, setelah sholatnya Bintang bersujud dan dari hatinya yg paling dalam terucap do'a :

Ya Allah, hamba mencintai Matahari, jika memang ia jodoh untukku, langgengkanlah kami sampai pernikahan dan ajal kami, jika dia bukan jodoh untukku, maka akhirilah semua ini segera...

Hari berhganti setelah sujud itu, sampai

Wednesday, March 30, 2011

Luruh

Sebab waktu begitu pongah menggenggam rahasia
Simpul-simpul tak menemu, uraikan!
Meski masai pada akhirnya namun tak semestinya berdiam dalam jerat

dan

Rotasi yang tak lagi berpusat,
Lingkar liar yang menarik keluar masa lalu dari kotak usang
sebuah marka, atau sebuah perangkap?
Andai saja hidup sebuah garis lurus
Tentu aku tak perlu ragu menentukan langkah


Maka disinilah aku, terjangkar lingkar liar
Bergulat dengan sejuta duga yang kian dentam
Adalah godam runtuhkan tembok pertahananku : luruh aku!

Raksaka Nala : 30 Maret  2011 - 07:11 A.M

Saturday, March 19, 2011

Meredam Badai

Adalah musim yang tak lagi tertanda,cuaca rusak
Lautan dalam dada bergolak, gelombangnya pasang
Memaksa perahu henti laju dan bersandar :

     terjangkar, menunggu waktu

Hingga selesai kau aduk badai seperti kau mengaduk cangkir kopi dimalam-malam sepi
dingin
Kutunggu jeda itu selesai........


Sampai tiris sabar hingga tetes terakhir, sesap aku demi hausmu
Mengeringkan harapan dan,

      lalu rasa curiga seperti  kabut menelan rindu


Selayaknya kau sadari diammu jangkar
dan diamku  meredam badai
Akhir diam kita adalah  penentu
Diammu berakhir melukis peta, arah kita
Diamku berakhir lepas redamku, badai itu

Kutunggu jeda itu selesai....




 Raksaka Nala  19 Maret 2011

Wednesday, March 16, 2011

Bawa Aku Pulang

Cuaca yang berkiprah: musim tanpa tanda (henti)
Angin menakik langit,patah arah
Langit terluka,hujan sampyuh didekap bumi:musnah terserap?
tidak! hanya akan menjelma sungai yang mencari jalan pulang,kataku

Sebab hanya mengulang-ulang hingga saat nanti
Hijab terbuka dan segala tiada hanya satu: kembali!
     -setidaknya yakinku begitu

Namun, betapa
Meski berkali tak juga menjadi kebal
Selalu ada perih, selalu saja rintih..ah betapa ku lemah

Padamu, yang satu... kutiriskan rintihku:
    -dekap aku dalam cahayamu, kumohon...

Bawa aku pulang

Raksaka Nala :  March 9, 2011 at 8:05pm

SAUJANA

Di jarak pandang terjauh kau ada
Menari-nari debar kibar berpendar cahaya berloncatan silih berganti
ada bintang-bintang yang terlahir untuk terbakar
lainnya patuh meniti garis cakrawala menjadi suluh malam
masing-masing telah punya nasibnya sendiri

Kutunjuk satu, kuingat dalam setiap nafas
Meski jauh namun tak henti kan kucari jalan menujunya
di sana, di titik saujana itu..dimana jerat ruang waktu lepas,
massa dan energy tak cukup mewujudkan adamu
itulah, surga kediamanmu: yang kutuju


Dengan segenap gerak sel tubuhku
Kueja peta-peta lusuh warisan leluhur
Arah demi arah kubaca tanda yang semakin runyam
anyam menganyam tipu daya semakin menciptakan jarak
ah, betapa bodohnya.... padahal, peta itu telah ada dalam tubuhku: kesadaran itu
akan meniadakan saujana..semoga, suatu saat nanti aku terjaga

Raksaka Nala. March 8, 2011 at 9:21pm

Pandora

kututup dengan kabut,
kukunci rapat
dan kuasingkan dijantung sunyi


ini kuncinya, silahkan buka jika kau berani!


Raksaka Nala on  March 7, 2011

RESAH

resah buncah, angin yang kehilangan cerita
lalu... pada siapa harus kutanyakan khabarmu?
apakah kau tahu diam itu batu yang  memberati,
menanti tanpa pasti?

aku tak butuh basa basi
tetapi pasti, yang membuatku tenang

R.N



Thursday, February 24, 2011

Thursday, February 24, 2011

Kita ( empat sajak)

bumi

Belum sempat kutulis,
sebab diamku belum mampu mengeja kalam tanah yang menerima
adalah keyakinan yang senantiasa menjadi debu yang mudah diterbangkan angin,
prahara itu
memecah sunyi-sunyi dalam serpihan tanya: kuatkah aku?

Ada tanah yang tak selesai di luku
Ada batu-batu diam
Ada diam-diam membatu, lalu sekali lagi :
Bumi menuntaskan putarannya, menunggu aku


angin

seperti halnya wujud yang tak berwadag dia,
datang dan pergi tanpa bisa terjejak
hadir jikalau kosong merong-rong hati, mengisinya
Ketika kuraih jemari hanya meraup hampa
sirna, hanya meninggalkan rasa : gamang

Kutebak arah, terjebak
Kukejar lari, menari
Kudiam datang, kepayang
Senyummu..ah!

api

Di jantungku,di nafasmu
Di mana ku di mana kau?
Waktu menyihir bara
Gelora yang kita nyalakan,
Kembang api menari dibibir-bibir kesepian

Kita, terbakar
Lalu pijar malam-malam kita dengan imaji
Matilah terbakar dalam alpa lalu abu tiba-tiba
Begitu pekat mengaburkan mata kita : gelap aku, kamu


hujan

Matahari terlipat sejak senja tadi dan bintang-bintang serentak sampyuh
Hanya hati yang saling memanggil, namun kehilangan bahasa
Meluruh  malam-malam dalam  cuaca yang berkiprah,
Dua langit, dua hati gamang memahat awan
Mencari bentuk
remuk,
Hujan,
satu-satu luruh lalu menyerahkan diri diserap tanah
Entah esok lahir sebagai mata air ataukah selamanya terjebak
dalam sungai-sungai tersembunyi..mencari celah untuk menemukan jalan menuju muara?

Kita, jatuh-luruh dalam musim yang tak kenal tanda

Saturday, February 12, 2011

Resah Dalam Secangkir Kopi




Kuteguk kopiku,
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

pahit.



Adakah kau rasa jeda yang begitu sunyi itu?
Menyitir setiap detik menjadi detak
menyentak setiap rahasia dalam benak
Andai saja kau mampu masuk dalam sunyiku
kau akan menutup telinga karena bising!

Pagi,

Kusitir harapan di kelebat angin
Kataku pada angin:  Pergi!
tuailah mendung untukku…sebab, aku masih belum selesai bercumbu dengan hujan,
malam tadi.

Seperti kesunyian  lupa diri yang hidup dari membunuhi puisi
Itu rinduku untukmu
Tapi,
Jari-jariku lupa cara menuliskan huruf
Kata-kata hanya sukma yang kehilangan jasad, mengembara dalam gaibnya ruang kepalaku
Seperti puisi yang mati,
aksara tak tereja dan makna tetap menjadi rahasia
terlanjur,
Sebab patahnya anak kunci dan rasa tersegel dalam ruang pengap
 
Tak seperti dongeng para sepuh ternyata,
Di dadaku bukan lautan sabar yang bersemayam
Disana adalah lautan, dimana badai bersemayam bersama buih dan gelombangnya
Selamilah dasarnya
Sebuah peti
Sebuah Hati
Terkunci,
       dan telah patah anak kunci ditanganmu


Degup, letup...
jantungku mengetuk-ngetuk nada arpegio dimainkan dalam broken chord: 
adalah resah esok malam...ah! kutahan dan terlepas begitu saja


you, my sugar...
Raksaka Nala, 12/2/2011
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --

Never regret a day in your life. Good days give you happiness; Bad days give you experiences. Both are essential to life (N.N)