Friday, October 31, 2014

EDELWEISS UNTUK ASTRI



“Kamu nggak sayang sama aku!” 

Astri mulai merajuk. Bibirnya mengerucut, makin menegaskan keimutannya. Wajahnya menunduk, hingga anak-anak rambutnya yang halus menutupi sebagian wajah putihnya yang oval. Sumpah mati Dio tak berkutik, hanya bisa menelan ludah. Tak seperti biasanya, suasana semacam itu selalu bisa diputar-balik oleh Dio. Dengan jenaka pemuda kurus itu hampir selalu bisa membuat kerucut manyun Astri menjadi kerucut manyun yang manja, lalu senyum semanis gula segera menyusul, tapi tidak untuk kali ini.

“Minta yang lain saja,ya? Apa aja pasti kukabulkan.” Dio hampir putus asa. Suaranya pelan.

“Nggak mau, kamu sudah janji. Atau jangan-jangan kamu lupa?”

“Enggak sayang, aku nggak lupa,cuman…”

“Enggak lupa, mana buktinya? Kamu pasti lupa metiknya, ngaku?! Pokoknya aku kecewa!”

Kalimat terakhir Astri meninggi dan bergetar, ia bangkit dari tempat duduknya. Tak mau terlihat menangis oleh semua mahasiswa yang sedang makan di kantin itu, Astri bergegas pergi. Dio sengaja tak mengejarnya, bakalan sia-sia dan bahkan akan memperkeruh suasana. Mahasiswa tingkat akhir itu menghela nafas, memandang sekelilingnya. Beberapa  sahabatnya  tertawa-tawa di pojokan sambil melihat ke arahnya, seolah kemalangannya hari itu adalah hal yang lucu.

“Kampret, bahagia bener teman dapat musibah!” umpatnya sambil bangkit, menuju sekumpulan temannya yang masih terlihat menyebalkan dengan tawa mereka. Belum juga pemuda kurus-hitam tersebut sampai, Jamal sudah menyambutnya dengan ejekan.

“Lu apain anak gadis orang, Pret? Ampe mewek gitu? Udah lu ngaku aje, lu disuruh tanggung jawab kan? Hahahaha!”

Suara cempreng Jamal mengudang tatapan aneh seantero kantin, beberapa nampak mengalihkan pandangannya ke arah Dio. Dio sih cuek, hanya melengos.

“Diem kau betawi sableng, daripada bawel, yuk nge-band? BT nih!”
“Masih mampu pegang stick drum? Lemes gitu.  Udah kuyu, mata item, kurang tidur? Masalah cewek sampai gak bisa tidur, kayak ABG labil aja.” Berna yang paling perhatian pada teman-temannya menatap Dio.

“Nge-band gampang, sini duduk duluu, ceritaa to sama simbah, kenangopo istrimu itu?”  Paimo menirukan raut muka bijak seorang dukun menimpali.
  
“Biasa, paling lagi 'M'. Geser dong!”  Dio malas meladeni teman-temannya. Ia malah langsung menyambar es teh yang ada di meja, nggak tahu es siapa. Semua temannya meledak tawanya. Si cempreng betawi yang paling keras tawanya.

“Hahahahaha….sarap lu,Pret! Tu minuman udah ade sebelum kite-kite duduk disini, jadi  lu minum tu ga tau sise demit ape kuda!”

“PROOOOT!”

Dio menyemburkan minumannya, dan sukses mencuci wajah Jamal yang kumal. Hasilnya wajah jamal semakin jelas kedekilannya. 

“Setan lu,Pret!”

“Hahahaha, sori Mal, reflek!”

Semua tertawa.  Drama  antara Dio dan Astri menguap bersama tawa dan perut mereka yang kaku. Dalam hati Dio bersyukur, sahabat-sahabatnya itu tak menyelidiki lebih jauh tentang masalahnya.  Jika sampai mereka tahu, bahwa Astri  minta dipetikkan edelweiss, jika saja mereka tahu ia sudah menepati permintaan Astri pada pendakian terakhir mereka minggu lalu, walaupun sampai kini edelweiss ungu Lawu itu masih teronggok di pojok kamarnya, habislah ia. Sahabat-sahabatnya itu memang gila, tapi akan berubah jadi tegas dan tanpa ampun jika menyangkut soal kode etik pecinta alam. Dio, sebagai salah satu anggota MAPALA kampus telah melakukan hal yang terlarang dan memalukan.  Memetik mahkota Gunung Lawu!


 ******


Malam makin larut, Dio tertegun di depan pintu kamarnya. Seharian nge-band, ia sempat lupa dengan masalahnya. Kini ia harus kembali berhadapan dengan masalah sesungguhnya. Bukan sekedar tentang Astri yang merajuk, tapi ada sesuatu yang lebih mengganggu. Benar kata Berna, belakangan ini ia kurang tidur. Dimulai dari sepulang pendakian Gunung Lawu, mimpi buruk selalu datang.  Persaan bersalah, malu dan juga teror selalu menghantuinya tiap malam.  Dalam hidupnya ia tak pernah menyangka, rasa cintanya pada Astri membuatnya  goyah. Dio suka menceritakan keindahan gunung dan pengalaman pendakiannya pada  Astri. Gadis itu suka sekali saat dia dengan antusias bercerita, katanya, seolah-olah ia bisa merasakan dan melihat apa yang dialami Dio. Astri ingin sekali bisa seperti Dio, tapi fisiknya terlalu lemah. Keluarganya dan juga Dio sendiri tak akan pernah mengizinkannya. Mulanya kekasihnya itu cukup puas dengan cerita dan juga foto, lalu ketika ia melihat foto edelweiss Gunung Lawu, entah setan apa yang membisik ke telinganya, Astri begitu menginginkannya. Ia mulai merengek minta dipetikkan sekuntum edelweiss ungu itu. Kegigihan Astri yang membujuknya memetikkan edelweiss Gunung Lawu yang unik membuat dia luluh, dan akhirnya melanggar kode etik yang dia junjung tinggi.  

Edelweiss sudah dipetik, sudah diikat pita putih yang cantik, tapi Dio tak pernah sanggup memberikannya pada Astri.  Perang bathin dalam hati Dio antara rasa cinta, rasa malu, penyesalan dan juga rasa takut. Dalam cinta, Dio kehilangan pegangan, kehilangan prinsipnya.
“Apa yang harus kulakukan?” rutuknya, frustasi dengan dirinya sendiri. Seikat edelweiss ungu itu tak seharusnya ada di kamarnya.



“Haruskah aku mengecewakan Astri? Atau…”

Belum sempat Dio menyelesaikan kalimatnya dalam hati itu, tiba-tiba pintu kamarnya bergetar. 

“Si-sial,lagi-lagi…” 

Dio pucat, tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan. Kakinya terpaku di depan pintu kamar, ia tak sanggup bergerak. Seperti suara desau angin gunung, ada suara rintihan dari dalam kamarnya, rintihan pilu, dan juga menakutkan.
“Pulaaang…..huuuu…huuuu… puulaaaaaang!”

Dari dalam kamarnya, edelweiss ungu itu menangis.


TAMAT
Cerpen mini ini ditulis berdasarkan fiksimini (@rainzheart : USAI PENDAKIAN LAWU - Dio kurang tidur. Tiap malam, edelweis yang dia petik menangis, minta dipulangkan) dan ditulis untuk mengikuti tantangan #Nulis3jam dari @kampusfiksi

Monday, October 20, 2014

EPITAF HUJAN

Tlatah hati makin sepi
Sejak kemarau mengubur rinai
Dalam sungai yang kini kering
Sisakan alur-bilur, menggaris hati

Ah, sudahlah
Lagipula kau tak pernah bisa membaca hujanku
Maka, saat kunisankan ia
biar saja tersembunyi dalam sajak tanpa (banyak) kata

Semarang, 24-04-2004

#AnotherLATEpost

INSOMNIA



Detik mati tepat di jantung sunyi
Malam pun terhenti
Suara hilang, pikiran terjebak dalam koma
panjang

(Magelang, 14-06 -2014 )

#anotherLATEpost

DEMOKRASI

Entah salah siapa jika di tanah ini
Demokrasi menjadi kunci
Membuka rantai dalam hati
Melepaskan anjing, menyeruak keluar dari mulut kami

Magelang, 25-06-2014


NB: Another late post

SAAT PUISI MENJADI ANJING

Kita harus berkaca
Apakah masih nampak manusia
Dalam cermin itu

Magelang, 26 Juni 2014


NB: Ini juga postingan yg terlambat

MENGGAMBAR MATAHARI

Seseorang menggambar matahari di langit gelap
Tetapi hanya gambar
Berlari-lari orang mendekat terpesona
Sudah rindu mereka pada cahaya
Berdesakan, berebutan hingga saling cakar
Hanya demi memuaskan kerinduan mereka pada cahaya
Lalu orang-orang mulai terluka dan berdarah

Seseorang menggambar matahari lebih besar
Orang-orang kian garang, saling tikam
Tanpa sadar darah sudah menganak sungai
Dia yang mennggambar matahari
Tersenyum diam-diam menampung tinta di cawan emasnya
Yang menetes dari tubuh-tubuh cabik
Untuk menggambar matahari

( Magelang, 12-06 -2014 )



NB: Postingan yang terlambat karena baru ingat buka blog sekarang :p. Puisi ini ditulis dalam rangka memenuhi tantangan dedah puisi di sebuah group di Facebook.
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --

Never regret a day in your life. Good days give you happiness; Bad days give you experiences. Both are essential to life (N.N)