Saturday, August 17, 2013

TIGA SENJATA



Asko Land sedang menghadapi agresi. Suatu siang seorang telik sandi kembali dengan luka-luka yang parah. Malamnya Dewan Tertinggi memanggilku, aku menerka mungkin ini ada hubungannya dengan kembalinya telik sandi yang terluka itu

Semua yang hadir langsung memandang Sang Juru Komunikasi. Lelaki dengan jubah panjang putih itu lalu mengangguk ke arah para tetua sebagai isyarat memohon izin untuk mulai bicara.

“Mengingat urgensi masalah, langsung saja. Saya mendapat laporan dari telik sandi bahwa musuh telah menyiapkan serangan dengan senjata baru. Mereka telah berhasil mengembangkan tiga senjata baru sejenis senjata pemusnah masal."

“Senjata pemusnah masal?” Aku bergidik.

Rupanya musuh sudah
putus asa dengan penyerangan konvensional. Beberapa minggu ini mereka sering menncoba menyerang, dan selama ini pula pasukanku berhasil menahan dan memukul mundur mereka. Aku tak bangga dengan prestasiku ini, sebab perang ini telah banyak menjadikan anak-anak kehilangan ayah mereka di medan perang. Tetapi aku menguatkan hati, sebab jika musuh berhasil masuk kota tak akan ada lagi Asko Land. Mereka terkenal bengis dan selalu memusnahkan suku atau bangsa yang mereka taklukkan tanpa sisa.

Senjata memang alat pembunuh, tapi senjata pemusnah masal itu lebih keji. Senjata macam itu tak mengenal umur, tak mengenal kawan atau lawan. Asal masuk dalam jangkauan semua dilibas habis.

“Lalu, senjata apa itu?” Aku berharap informasi lebih detil. Jika memang itu senjata pemusnah masal aku harus tahu lebih banyak dan segera menyiapkan antisipasinya."

“Itulah masalahnya, Panglima. Telik sandi kita hanya melaporkan musuh telah menyiapkan tiga senjata rahasia. Aku tidak mendapatkan detail jenis dan jumlahnya.”  

Sang Juru Komunikasi sedikit menunduk. Aku paham benar ia pasti merasa bersalah. Ia adalah orang jenius di bidang komunikasi tapi kali ini hanya sedikit informasi yang dapat dia sampaikan. Ah, kawan mainku semasa kecil itu memang terlalu perasa.

“Apakah semua laporan telik sandi tak ada yang terlewat?”

“Dari lima telik sandi yang kukirim,hanya satu yang kembali. Ia adalah telik sandi lapis luar jadi hanya berjaga di luar garis pertahanan musuh, menunggu komunikasi dari telik sandi inti untuk meneruskan informasi.”

“Lalu laporan lengkap dari telik sandi inti, apakah belum masuk?”

Sang juru komunikasi terdiam sesaat. Ia kembali sedikit menunduk.

“Empat telik sandi terbaikku, tak pernah bisa dihubungi. Yang kembali itupun sebenarnya belum berkomunikasi dengan telik sandi inti. Ia disergap di luar garis pertahanan secara tiba-tiba, namun berhasil lolos walau… yah, kita tahu keadaannya tadi siang kan?”

Sang Juru Komunikasi kembali diam. Beberapa saat menghela nafas, kami menunggu dengan tegang.

“Ia akhirnya meninggal.”

Seisi ruangan tertunduk. Kami merasa kehilangan mata dan telinga. Lima telik sandi yang dikirim terakhir itu adalah jajaran elit di bidangnya.

“Ia hanya sempat menyebut musuh menyiapkan tiga senjata baru yang berbahaya.”

Kami saling berpandangan. Rasa cemas menguar dalam ruang itu.

“Panglima, bagaimana menurutmu? Kami tahu engkau ahli strategi yang handal dan terbukti dengan gagah telah melindungi Asko Land dengan baik. Kami para tetua hanya mengerti tentang budaya dan politik. Kami menyerahkan semua kepadamu.”

Aku menghela nafas. Aku sebenarnya sudah lelah dengan perang. Tapi aku tak bisa memungkiri, bahwa kadang kita harus mengangkat senjata untuk menjaga perdamaian tetap terjaga. Sebuah ironi.

“Baiklah, saya akan membahasnya dengan staf saya. Saya usahakan kami segera menemukan solusi ataupun antisipasi. Saya minta dukungan penuh atas apa yang akan saya lakukan baik dari Dewan Tertinggi maupun dari Juru Komunikasi.”

“Tentu saja, kawan. Akan saya perintahkan staf saya untuk memberi akses penuh bagi Dewan Keamanan dalam jaringan komunikasi Asko Land. Gunakan sebaik-baiknya, saya percaya kamu bisa.”

Aku tersenyum pada kawan lamaku itu. Lalu beralih memandang para tetua. Mereka saling berpandangan dan nampak berbicara lirih. Birokrat memang seperti itu, selalu lambat memutuskan.

“Baiklah, Dewan Tertinggi akan memberikan hak istimewa bagi Dewan Keamanan untuk mengakses seluruh sumber daya Asko Land”

Setelah pertemuan malam itu aku seringkali tak bisa tidur. Seluruh angkatan perangku juga kuperintahkan menambahkan kewaspadaan. Akses keluar dan masuk dibatasi, Seluruh pasokan barang dan makanan dari luar mengalami karantina, seleksi dan pengujian secara ketat. Seluruh penduduk diperintahkan membatasi aktivitas keluar Asko Land, dan orang-orang yang masuk Asko Land juga diperiksa dengan saksama. Setelah dua bulan berlalu sejak pertemuan dengan Dewan Tertinggi dan Juru Komunikasi, sejak saat itu tak ada agresi langsung. Agresi mereka mengalami perubahan bentuk. Kami telah berhasil mengidentifikasikan tiga senjata yang mengancam Asko Land

Senjata pertama berhasil diidentifikasikan oleh ahli kimia kami. Banyak makanan yang masuk telah terkontiminasi. Racun keji yang tak berasa hingga sulit dideteksi. Untunglah, kebijakan pengawasan barang dan makanan dari luar telah diperketat. Di laboratorium telah diidentifikasikan senyawa kimia yang sifatnya tidak beracun, tetapi begitu tercampur air akan terurai dan berubah bersifat menjadi racun. Cara yang sangat keji.

Senjata kedua, berhasil kami antisipasi berkat kejelian Dewan Komunikasi.  Masuk dan menyerang melalui media informasi elektronik. Siaran-siaran televisi yang berasal dari luar dikaji ulang melalui teknologi informasi yang paling canggih yang kami miliki dan ada indikasi banyak yang disisipi semacam program hipnotis. Melalui kode-kode binary yang menciptakan gelombang suara dan gelombang cahaya tertentu. Dengan mendengarkan gelombang suara pada frekwensi yang terprogram, seseorang bisa masuk ke alam bawah sadarnya, hingga bisa dikendalikan. Mengerikan bukan? Teknologi semacam itu bisa membuat seseorang membunuh sesuai program yang dijalankan tanpa ia sendiri menyadarinya.  Program yang mengubahmu menjadi mesin pembunuh begitu teraktivasi. Bayangkan jika tanpa sadar kau membunuh anakmu, istrimu dan teman-temanmu!

Senjata ketiga kami temukan diluar benteng. Pasukan patrol yang telah dibekali alat deteksi canggih oleh Dewan Komunikasi mengidentifikasikan banyak sekali ranjau yang ditanam. Ranjau-ranjau dengan daya ledak dan daya musnah tinggi dan bisa terpicu dengan getaran yang sangat kecil. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika anak-anak yang sering bermain di pinggiran kota menginjaknya.

Dewan Tertinggi senang dengan kinerjaku. Tiga senjata sudah berhasil diantisipasi. Serangan langsung juga sudah tidak pernah terjadi. Mereka memutuskan menurunkan status walau aku tidak begitu menyukainya. Bagiku masih ada ganjualan. Sesuatu hal yang aneh jika senjata-senjata rahasia musuh telah diantisipasi, seharusnya mereka menyerang secara konvensional lagi mengingat sifat musuh yang ambisius dan terkenal tak berhenti menyerang sebelum dapat menaklukkan daerah yang diincarnya.

*******

Suatu malam, aku duduk di teras rumahku. Hujan baru saja turun. Aku menikmati teh di beranda bersama istriku ketika istriku nampak sumringah.

“Eh, lihat ada kunang-kunang!” serunya.

Kunang-kunag? Ah lama sekali tak melihatnya. Aku tertegun, ternyata banyak sekali.

“Wow, belum pernah kulihat seperti ini. Bahkan semasa kecil dulu tak pernah melihat sebanyak ini!” Seru istriku.

Ia benar. Aku takjub, serangga kecil itu beterbangan dimana-mana. Satu persatu orang-orang mulai keluar dari rumah menyaksikan fenomena langka itu. 

“Indah sekali, suasana jadi romantis.” Kerling istriku sambil memeluk lenganku.

Pintu rumah terbuka, Luna putriku yang berusia 5 tahun tergopoh-gopoh menghampiri kami.

“Bunda, itu apa? Bagus sekali! Seperti bintang ya?”

“Itu yang namanya kunang-kunang sayang.”

“Luna mau satu ah!”

Bidadari kecilku itu berlari kehalaman mencoba menangkap satu kunang-kunang. Tiba-tiba…

“BOOOOM!”

“Lunaaaaaaaaaaaaaaa!” Istriku menjerit.

Aku terbelalak , berlari menuju Luna. Tak menghiraukan istriku yang terkulai pingsan.

“Lu-Lunaa….” Suaraku bergetar.

Lututku goyah, diantara kerlip kunang-kunang itu asap masih mengepul tipis. Jelas kulihat tubuh bidadari kecilku tak bernyawa dan tak utuh lagi. Bau mesiu, darah dan daging terpanggang membuatku mual. Aku terjatuh di atas lututku, air mata membanjir. Marah dan sedih menyatu, kutatap berkeliling mencari-cari penyebab ledakan. Aku tak melihat tanda-tanda musuh. Lalu terdengar ledakan, kali ini banyak dan susul menyusul dari segala penjuru.

“BOOOM! BOOOM! BOOOM!

Suasana yang tadi indah dengan kemunculan ribuan kunang-kunang itu menjadi mencekam. Jerit tangis dimana-mana, api berkobar. Asko Land membara.

“Apa yang terjadi?” Aku bingung.

Seorang komandan tergopoh-gopoh datang.

“Panglima, apa yang terjadi? Seluruh kota kacau dan banyak ledakan!”

Aku masih berlutut ketika ia sampai dihadapanku. Seekor kunang-kunang nampak hinggap di bahunya.

“BOOOM!”

Aku terppental dan berguling-guling.

“Bu-bukan ranjau, ini…ini senjata rahasia ketiga mereka!” 

Terlambat menyadari semua. Kusaksikan diantara asap, kunang-kunang laknat itu telah tersebar diseluruh penjuru. Mereka meledak begitu bersentuhan dengan benda. Lengah, tanpa kusadari  dua ekor kunang-kunang telah berada satu centi dekat perutku. Ketika kulihat salah satunya baru saja hinggap di perutku, dan….



No comments:

Post a Comment

By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --

Never regret a day in your life. Good days give you happiness; Bad days give you experiences. Both are essential to life (N.N)