Friday, August 23, 2013

KEPULANGAN

Malam dingin dan sepi. Hujan yang tinggal rintik-rintik menyisakan dingin. Suara jangkrik dan juga suara kodok bersahutan. Beberapa kunang-kunang nampak kerlap-kerlip, suasana yang lama tak kujumpai. Aku sendirian mendekati desa kelahiranku, menyusuri jalan kricak yang membelah hamparan sawah yang penuh kenangan. Waktu kecil aku sering bermain layangan disini, anginnya bagus. Selain itu, jika bosan aku dan teman-teman sebaya sering mencari belut atau sekedar bermain kubangan sawah. Ini jalan utama, meski belum di aspal tetapi merupakan nadi vital karena satu-satunya akses yang bisa dilalui mobil, sehingga perekonomian cukup hidup. Dulu, aku dan teman-temanku sering berlarian membuntuti dibelakang mobil pick up yang datang dari kota. Orang-orang kota itu membeli hasil tani dari desaku, lalu dijual di kota. 

Aku terus berjalan, hingga sampai di gapura desa. Aku tertegun didepan gapura desaku.
Rupanya baru saja diperbaharui cat-nya. Kuperhatikan, ada bendera kuning disana. Aku mengernyitkan kening. Kuning, seperti warna gapura ini dulu. Seingatku dulu warnanya kuning. Sekarang warna-warni, entah warna apa saja aku tak begitu jelas. Gelap. Gapura desa ini, aku ingat benar dibangun saat aku berusia 17 tahun. Saat itu aku salah satu penggiat karang taruna, yang gigih mencari ‘sponsor’ untuk pembangunannya. Kami mendapatkan dana dari salah satu partai politik. Mereka memberikan dana dengan syarat, cat-nya harus berwarna kuning, dan ada gambar beringinnya. Terakhir kudengar partai tersebut mulai kalah pamor dengan partai-partai politik baru. Mungkin sudah tidak memberi dana lagi, sehingga warga desaku sekarang bisa lebih kreatif memilih warnan sendiri untuk gapura itu. Sejenak aku berhenti, memperhatikan bendera kuning itu…

“Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah pulang.” 

Aku tersenyum masam. Lima tahun berlalu dan ingatanku kenapa dulu aku meninggalkan desa ini masih lekat seperti jelaga dalam benak. Bukan ingatan yang indah. Waktu itu aku 18 tahun. Bukan inginku meninggalkan desa, meninggalkan kawan-kawanku, meninggalkan coreng hitam di muka bapak. Masih perih tamparan bapak di pipiku, masih luka hatiku dengan kata-katanya. Ia bilang tak punya anak maling.

Yah, maling. Aku nyolong kambing desa tetangga. Hanya sekali, dan sekali itu aku tertangkap. Aku dihajar habis-habisan. Untung kepala desanya kenal bapak, melerai warga dan mengantarku pulang. Bapak murka bukan kepalang. Malu dengan kawannya yang kepala desa itu. Sepeninggalnya kawannya itu aku ditampar sekali oleh bapak, tapi sakitnya melebihi bogem mentah pemuda-pemuda kampung desa sebelah.

“Ketemu pirang perkara aku nduwe anak kecu? Asu! Kowe gawe wirang bapak! Opo bapak ora nyukupi panganmu?” 

Bapakku terus mengumpat dan memakiku. Aku hanya bisa tertunduk sembari memegangi pipi kiriku yang baru saja kena tampar. Bapak juga tak mau tahu, aku nyolong demi menebus obat untuk biyung yang sakit parah. Biyungku waktu itu hanya menangis. Mungkin takut melihat amarah bapak, mungkin juga menyesal karena menjadi sebab aku nekat mencuri, mungkin juga karena malu seperti bapak. Maafkan aku…

Malam aku ditampar itu menjadi malam terakhirku di desa. Aku minggat membawa luka hati dan meninggalkan aib bagi keluarga. Kalut, aku meminta pendapat sahabatku. Ia lalu mengajakku ke kota.

“Kamu ingat, aku pernah bilang ingin merantau ke kota? Aku baru saja ingin menemuimu untuk  pamitan. Aku niat berangkat besok. Disini kamu sudah dianggap maling, lebih baik ikut aku saja!”

Aku menurut saja dengan ajakan Parjo. Esoknya kami berjalan keluar desa sewaktu hari masih subuh. Di luar desa kami menunggu tengkulak dari kota. Ada dua yang datang hari itu, tetapi mobil pertama menolak. Mobil kedua mau kami tumpangi tapi menunggu sampai ia selesai dengan urusan jual beli di desa. Kami bersedia menunggu. Setelah agak siang mobil pick up hitam itu terlihat lusuh, penuh dengan hasil tani. Kami nebeng hingga pasar di kota. Disana aku dan Parjo baru tahu, hasil tani yang dibeli murah dari desa kami dijual dengan harga tinggi. Dalam hatiku memaki, tetapi aku segera sadar itu tak berguna. Toh aku sudah bukan petani lagi. Sekarang aku di kota, jadi harus cari kerja ‘pekerjaan kota’.

Kota ternyata tak ramah. Hari pertama kami tiba di pasar itu, kami langsung terlibat perkelahian dengan preman pasar. Aku tak perlu menceritakan detailnya. Tapi yang jelas, waktu itu kami menang. Itu jadi awal segalanya. Setelah itu kami selalu dauber, dicari-cari. Preman yang kami hajar rupanya punya banyak teman.

Lelah lari, kami memutuskan melawan. Tak tanggung-tanggung, kami datangi preman yang paling ditakuti di kota itu. Aku dan Parjo memang orang desa, tapi bukan pengecut dan tak bisa apa-apa. Sejak kecil kami terbiasa bermain gulat disawah dengan kawan-kawan, juga belajar kesenian pencak silat dari Haji Ramli, yang turun temurun dikenal sebagai jawara sejak jaman penjajahan. Aku dan Parjo menantang duel satu lawan satu. Si preman kondang terpaksa mau demi menjaga dominasinya dan menunjukkan pada antek-anteknya bahwa dia masih punya gigi. Ia berkoar kalau kalah dalam duel, ia akan tunduk dan akan memanggil yang mengalahkannya dengan sebutan Bos Besar.

“Biar aku yang maju!” kataku mantab.

Diusir bapakku membuat aku tak peduli apapun. Bagiku hidup sudah gelap, tak masalah kalau mati sekalian. Tapi aku tak mati. Menang, dan dipanggil Bos. Aku dan Parjo jadi Bos baru. Bos preman. Kami bukan orang jahat, tapi entah kenapa harus terseret dalam alur buram seperti itu. 

“Sudah, kita nikmati aja sebisanya… yang penting cari uang sebanyak-banyaknya” Kata Parjo sambil tertawa. 

Hari demi hari berlalu, singkat cerita lima tahun kami hidup dalam kerasnya kota. Ternyata kangen juga dengan bapak dan biyung. Pajo juga kangen pulang. Tapi dia punya tujuan lain. Ia ingin meminang Surti, gadis pujaannya yang aku tahu digilainya sejak kami masih kencur. 

“Akan kuajak dia tinggal disini.”

“Kamu yakin?”

“Nggak, tapi apa salahnya dicoba? Hahaha.” Parjo tertawa lepas.

Kami memutuskan pulang. Berdua kami ke pasar, mencari kalau-kalau ada tengkulak yang masih mangkal disitu, menanyakan kalau-kalau ada yang akan pergi mencari dagangan ke desa kami. Itu kemarin pagi.



Aku menghela nafas. Melanjutkan langkahku. Sudah tak sabar ingin tiba dirumah, kupercepat langkahku. Melewati beberapa rumah yang nampak lenggang. Malam yang dingin sehabis hujan, mungkin penghuninya lebih suka meringkuk dibalik selimut. Aku terhenti ketika mendekati sebuah rumah dengan dinding anyaman bambu. Rumah yang paling jelek di desaku ini, rumah bapakku. Rumahku, dulu. Banyak orang berkumpul di depan rumahku. Di dekat pekarangan yang tak luas, pada sebatang pohon terikat bendera kuning. AKu tak peduli, yang kumau hanya pulang. AKu melewati orang-orang itu, para tetangga yang berkumpul di halaman. Kulewati begitu saja, pintu rumahku terbuka. Di ruang depan digelar tikar pandan, Para tetangga duduk sambil berbisik-bisik lirih. Ada Parjo diantara mereka, rupanya ia sampai lebih dulu. Aku tak peduli, yang penting aku pulang. Aku lagi-lagi tak menghiraukan mereka, aku hanya mau ketemu bapak dan biyung. Aku menuju kamar bapak dan biyung dan menjumpai bapakku sedang memijit-mijit kaki biyung. Wajah bapakku itu terlihat tua dan sedih. Ada bekas air mata di pipinya. Biyungku terbaring di dipan kayu, badannya kurus. Ia terisak sambil menyebut namaku. Dadaku bergetar, tapi tak mampu mengucapkan kata. Berita kematianku telah sampai rupanya.



*******************************************


Kemarin pagi aku dan Parjo hendak pulang. Ketika sibuk mencari tengkulak yang mungkin mendatangi desa, kami agak kesulitan. Banyak tengkulak disana tetapi tak semua punya tujuan desa kami. Agak lama juga kami mencari membuat aku haus. Akupun memberi isyarat pada sahabatku hendak membeli minum di sebuah warung. Ketika didepan warung, tiba-tiba kudengar Parjo berseru kepadaku.

“Awas! Dibelakangmu! Woi!”

Ketika aku menoleh, sudah terlambat. Perutku terasa ngilu, seorang laki-laki menyeringai penuh kebencian. Sebelum pandanganku mulai mengabur aku sempt melihat wajahnya. Ia preman yang kami hajar sewaktu pertama kali kami menginjakkan kaki di kota ini. Tubuhku ambruk. Parjo segera berlari meraihku. 

“Sial, jangan mati! Kita mau pulang kan? Kenapa begini?”

“Jo…ki-kita t-tetap pulang kan?” kataku terbata. 

Itu hal yang terakhir kuingat. Entah bagaimana tiba-tiba aku sudah ada di jalan desaku. Tapi itu sudah tak penting. Yang pasti aku sudah dirumah. Aku cukup puas melihat ternyata masih ada air mata cinta di mata kedua orang tuaku.


“Bapak, Biyung, anakmu pulang. Tapi maaf, anakmu pulang…untuk berpamitan” Gumamku lirih. Aku berbalik , tak ada lagi beban. Aku melayang melewati ruang depan, melewati para tetanggaku, melewatii Parjo, melewati pintu, menuju cahaya yang terang. Gerbang dunia baru.


Catatan Bahasa Jawa
“Ketemu pirang perkara aku nduwe anak kecu? Asu! Kowe gawe wirang bapak! Opo bapak ora nyukupi panganmu?” 

( "Salah apa hingga aku punya anak pencuri? Anjing! Kamu membuat malu bapak! Apa bapak tidak mencukupi makan untukmu?")

Asu : anjing
Biyung : Ibu

3 comments:

  1. Udah lama nih gak berkunjung ke 'rumah'-nya Mas Rain :D
    Orangnya kemana yah... :D *tengok kiri-kanan XD
    Main ke blog Varla ya, Mas. Sekarang udah insaf mulai ngisi blog lagi wkwkwkwkwk :P

    ReplyDelete
  2. bagus banget cerita ini... :'( udah dikirim ke media belum? kalau belum kirim dong mas :)

    ReplyDelete
  3. belum, masih jauh dari harapanku Va, butuh lebih bagus lagi utk bisa yakin/PD dikirim ke media cetak XD

    ReplyDelete

By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --

Never regret a day in your life. Good days give you happiness; Bad days give you experiences. Both are essential to life (N.N)