“Kamu nggak sayang sama aku!”
Astri mulai merajuk. Bibirnya
mengerucut, makin menegaskan keimutannya. Wajahnya menunduk, hingga anak-anak
rambutnya yang halus menutupi sebagian wajah putihnya yang oval. Sumpah mati
Dio tak berkutik, hanya bisa menelan ludah. Tak seperti biasanya, suasana
semacam itu selalu bisa diputar-balik oleh Dio. Dengan jenaka pemuda kurus itu
hampir selalu bisa membuat kerucut manyun Astri menjadi kerucut manyun yang
manja, lalu senyum semanis gula segera menyusul, tapi tidak untuk kali ini.
“Minta yang lain saja,ya? Apa aja pasti kukabulkan.” Dio
hampir putus asa. Suaranya pelan.
“Nggak mau, kamu sudah janji. Atau jangan-jangan kamu lupa?”
“Enggak sayang, aku nggak lupa,cuman…”
“Enggak lupa, mana buktinya? Kamu pasti lupa metiknya,
ngaku?! Pokoknya aku kecewa!”
Kalimat terakhir Astri meninggi dan bergetar, ia bangkit
dari tempat duduknya. Tak mau terlihat menangis oleh semua mahasiswa yang
sedang makan di kantin itu, Astri bergegas pergi. Dio sengaja tak mengejarnya,
bakalan sia-sia dan bahkan akan memperkeruh suasana. Mahasiswa tingkat akhir
itu menghela nafas, memandang sekelilingnya. Beberapa sahabatnya tertawa-tawa di pojokan sambil melihat ke
arahnya, seolah kemalangannya hari itu adalah hal yang lucu.
“Kampret, bahagia bener teman dapat musibah!” umpatnya
sambil bangkit, menuju sekumpulan temannya yang masih terlihat menyebalkan
dengan tawa mereka. Belum juga pemuda kurus-hitam tersebut sampai, Jamal sudah
menyambutnya dengan ejekan.
“Lu apain anak gadis orang, Pret? Ampe mewek gitu? Udah lu ngaku
aje, lu disuruh tanggung jawab kan? Hahahaha!”
Suara cempreng Jamal mengudang
tatapan aneh seantero kantin, beberapa nampak mengalihkan pandangannya ke arah Dio.
Dio sih cuek, hanya melengos.
“Diem kau betawi sableng, daripada bawel, yuk nge-band? BT
nih!”
“Masih mampu pegang stick drum? Lemes gitu. Udah kuyu, mata item, kurang tidur? Masalah
cewek sampai gak bisa tidur, kayak ABG labil aja.” Berna yang paling perhatian
pada teman-temannya menatap Dio.
“Nge-band gampang, sini duduk duluu, ceritaa to sama simbah,
kenangopo istrimu itu?” Paimo menirukan raut muka bijak seorang dukun
menimpali.
“Biasa, paling lagi 'M'. Geser dong!” Dio malas meladeni teman-temannya. Ia malah
langsung menyambar es teh yang ada di meja, nggak tahu es siapa. Semua temannya
meledak tawanya. Si cempreng betawi yang paling keras tawanya.
“Hahahahaha….sarap lu,Pret! Tu minuman udah ade sebelum kite-kite
duduk disini, jadi lu minum tu ga tau
sise demit ape kuda!”
“PROOOOT!”
Dio menyemburkan minumannya, dan sukses mencuci wajah Jamal
yang kumal. Hasilnya wajah jamal semakin jelas kedekilannya.
“Setan lu,Pret!”
“Hahahaha, sori Mal, reflek!”
Semua tertawa. Drama antara Dio dan Astri menguap bersama tawa dan
perut mereka yang kaku. Dalam hati Dio bersyukur, sahabat-sahabatnya itu tak
menyelidiki lebih jauh tentang masalahnya.
Jika sampai mereka tahu, bahwa Astri minta dipetikkan edelweiss, jika saja mereka
tahu ia sudah menepati permintaan Astri pada pendakian terakhir mereka minggu
lalu, walaupun sampai kini edelweiss ungu Lawu itu masih teronggok di pojok
kamarnya, habislah ia. Sahabat-sahabatnya itu memang gila, tapi akan berubah
jadi tegas dan tanpa ampun jika menyangkut soal kode etik pecinta alam. Dio,
sebagai salah satu anggota MAPALA kampus telah melakukan hal yang terlarang
dan memalukan. Memetik mahkota Gunung
Lawu!
******
Malam makin larut, Dio tertegun di depan pintu kamarnya.
Seharian nge-band, ia sempat lupa dengan masalahnya. Kini ia harus kembali
berhadapan dengan masalah sesungguhnya. Bukan sekedar tentang Astri yang
merajuk, tapi ada sesuatu yang lebih mengganggu. Benar kata Berna, belakangan
ini ia kurang tidur. Dimulai dari sepulang pendakian Gunung Lawu, mimpi buruk
selalu datang. Persaan bersalah, malu
dan juga teror selalu menghantuinya tiap malam.
Dalam hidupnya ia tak pernah menyangka, rasa cintanya pada Astri
membuatnya goyah. Dio suka menceritakan
keindahan gunung dan pengalaman pendakiannya pada Astri. Gadis itu suka sekali saat dia dengan
antusias bercerita, katanya, seolah-olah ia bisa merasakan dan melihat apa yang
dialami Dio. Astri ingin sekali bisa seperti Dio, tapi fisiknya terlalu lemah.
Keluarganya dan juga Dio sendiri tak akan pernah mengizinkannya. Mulanya
kekasihnya itu cukup puas dengan cerita dan juga foto, lalu ketika ia melihat
foto edelweiss Gunung Lawu, entah setan apa yang membisik ke telinganya, Astri
begitu menginginkannya. Ia mulai merengek minta dipetikkan sekuntum edelweiss
ungu itu. Kegigihan Astri yang membujuknya memetikkan edelweiss Gunung Lawu yang
unik membuat dia luluh, dan akhirnya melanggar kode etik yang dia junjung
tinggi.
Edelweiss sudah dipetik, sudah diikat pita putih yang
cantik, tapi Dio tak pernah sanggup memberikannya pada Astri. Perang bathin dalam hati Dio antara rasa
cinta, rasa malu, penyesalan dan juga rasa takut. Dalam cinta, Dio kehilangan
pegangan, kehilangan prinsipnya.
“Apa yang harus kulakukan?” rutuknya, frustasi dengan
dirinya sendiri. Seikat edelweiss ungu itu tak seharusnya ada di kamarnya.
“Haruskah aku mengecewakan Astri? Atau…”
Belum sempat Dio menyelesaikan kalimatnya dalam hati itu,
tiba-tiba pintu kamarnya bergetar.
“Si-sial,lagi-lagi…”
Dio pucat, tubuhnya bergetar hebat
karena ketakutan. Kakinya terpaku di depan pintu kamar, ia tak sanggup bergerak. Seperti suara desau angin
gunung, ada suara rintihan dari dalam kamarnya, rintihan pilu, dan juga
menakutkan.
“Pulaaang…..huuuu…huuuu… puulaaaaaang!”
Dari dalam kamarnya, edelweiss ungu itu menangis.
Dari dalam kamarnya, edelweiss ungu itu menangis.
TAMAT
Cerpen mini ini ditulis berdasarkan fiksimini (@rainzheart : USAI
PENDAKIAN LAWU - Dio kurang tidur. Tiap malam, edelweis yang dia petik
menangis, minta dipulangkan) dan ditulis untuk mengikuti tantangan #Nulis3jam dari @kampusfiksi