Asko Land sedang menghadapi agresi. Suatu siang seorang
telik sandi kembali dengan luka-luka yang parah. Malamnya Dewan Tertinggi
memanggilku, aku menerka mungkin ini ada hubungannya dengan kembalinya telik
sandi yang terluka itu
Semua yang hadir langsung memandang Sang Juru Komunikasi.
Lelaki dengan jubah panjang putih itu lalu mengangguk ke arah para tetua
sebagai isyarat memohon izin untuk mulai bicara.
“Mengingat urgensi masalah, langsung saja. Saya mendapat
laporan dari telik sandi bahwa musuh telah menyiapkan serangan dengan senjata
baru. Mereka telah berhasil mengembangkan tiga senjata baru sejenis senjata
pemusnah masal."
“Senjata pemusnah masal?” Aku bergidik.
Rupanya musuh sudah
putus asa dengan penyerangan konvensional. Beberapa minggu ini mereka sering menncoba menyerang, dan selama ini pula pasukanku berhasil menahan dan memukul mundur mereka. Aku tak bangga dengan prestasiku ini, sebab perang ini telah banyak menjadikan anak-anak kehilangan ayah mereka di medan perang. Tetapi aku menguatkan hati, sebab jika musuh berhasil masuk kota tak akan ada lagi Asko Land. Mereka terkenal bengis dan selalu memusnahkan suku atau bangsa yang mereka taklukkan tanpa sisa.
putus asa dengan penyerangan konvensional. Beberapa minggu ini mereka sering menncoba menyerang, dan selama ini pula pasukanku berhasil menahan dan memukul mundur mereka. Aku tak bangga dengan prestasiku ini, sebab perang ini telah banyak menjadikan anak-anak kehilangan ayah mereka di medan perang. Tetapi aku menguatkan hati, sebab jika musuh berhasil masuk kota tak akan ada lagi Asko Land. Mereka terkenal bengis dan selalu memusnahkan suku atau bangsa yang mereka taklukkan tanpa sisa.
Senjata memang alat pembunuh, tapi senjata pemusnah masal
itu lebih keji. Senjata macam itu tak mengenal umur, tak mengenal kawan atau
lawan. Asal masuk dalam jangkauan semua dilibas habis.
“Lalu, senjata apa itu?” Aku berharap informasi lebih
detil. Jika memang itu senjata pemusnah masal aku harus tahu lebih banyak dan
segera menyiapkan antisipasinya."
“Itulah masalahnya, Panglima. Telik sandi kita hanya
melaporkan musuh telah menyiapkan tiga senjata rahasia. Aku tidak mendapatkan
detail jenis dan jumlahnya.”
Sang Juru Komunikasi sedikit menunduk. Aku paham benar ia
pasti merasa bersalah. Ia adalah orang jenius di bidang komunikasi tapi kali
ini hanya sedikit informasi yang dapat dia sampaikan. Ah, kawan mainku semasa
kecil itu memang terlalu perasa.
“Apakah semua laporan telik sandi tak ada yang terlewat?”
“Dari lima telik sandi yang kukirim,hanya satu yang
kembali. Ia adalah telik sandi lapis luar jadi hanya berjaga di luar garis
pertahanan musuh, menunggu komunikasi dari telik sandi inti untuk meneruskan
informasi.”
“Lalu laporan lengkap dari telik sandi inti, apakah belum
masuk?”
Sang juru komunikasi terdiam sesaat. Ia kembali sedikit
menunduk.
“Empat telik sandi terbaikku, tak pernah bisa dihubungi.
Yang kembali itupun sebenarnya belum berkomunikasi dengan telik sandi inti. Ia
disergap di luar garis pertahanan secara tiba-tiba, namun berhasil lolos walau…
yah, kita tahu keadaannya tadi siang kan?”
Sang Juru Komunikasi kembali diam. Beberapa saat menghela
nafas, kami menunggu dengan tegang.
“Ia akhirnya meninggal.”
Seisi ruangan tertunduk. Kami merasa kehilangan mata dan
telinga. Lima telik sandi yang dikirim terakhir itu adalah jajaran elit di
bidangnya.
“Ia hanya sempat menyebut musuh menyiapkan tiga senjata
baru yang berbahaya.”
Kami saling berpandangan. Rasa cemas menguar dalam ruang
itu.
“Panglima, bagaimana menurutmu? Kami tahu engkau ahli
strategi yang handal dan terbukti dengan gagah telah melindungi Asko Land
dengan baik. Kami para tetua hanya mengerti tentang budaya dan politik. Kami
menyerahkan semua kepadamu.”
Aku menghela nafas. Aku sebenarnya sudah lelah dengan perang.
Tapi aku tak bisa memungkiri, bahwa kadang kita harus mengangkat senjata untuk
menjaga perdamaian tetap terjaga. Sebuah ironi.
“Baiklah, saya akan membahasnya dengan staf saya. Saya
usahakan kami segera menemukan solusi ataupun antisipasi. Saya minta dukungan
penuh atas apa yang akan saya lakukan baik dari Dewan Tertinggi maupun dari
Juru Komunikasi.”
“Tentu saja, kawan. Akan saya perintahkan staf saya untuk
memberi akses penuh bagi Dewan Keamanan dalam jaringan komunikasi Asko Land.
Gunakan sebaik-baiknya, saya percaya kamu bisa.”
Aku tersenyum pada kawan lamaku itu. Lalu beralih
memandang para tetua. Mereka saling berpandangan dan nampak berbicara lirih.
Birokrat memang seperti itu, selalu lambat memutuskan.
“Baiklah, Dewan Tertinggi akan memberikan hak istimewa
bagi Dewan Keamanan untuk mengakses seluruh sumber daya Asko Land”
Setelah pertemuan malam itu aku seringkali tak bisa
tidur. Seluruh angkatan perangku juga kuperintahkan menambahkan kewaspadaan.
Akses keluar dan masuk dibatasi, Seluruh pasokan barang dan makanan dari luar
mengalami karantina, seleksi dan pengujian secara ketat. Seluruh penduduk
diperintahkan membatasi aktivitas keluar Asko Land, dan orang-orang yang masuk
Asko Land juga diperiksa dengan saksama. Setelah dua bulan berlalu sejak
pertemuan dengan Dewan Tertinggi dan Juru Komunikasi, sejak saat itu tak ada
agresi langsung. Agresi mereka mengalami perubahan bentuk. Kami telah berhasil
mengidentifikasikan tiga senjata yang mengancam Asko Land
Senjata pertama berhasil diidentifikasikan oleh ahli
kimia kami. Banyak makanan yang masuk telah terkontiminasi. Racun keji yang tak
berasa hingga sulit dideteksi. Untunglah, kebijakan pengawasan barang dan
makanan dari luar telah diperketat. Di laboratorium telah diidentifikasikan
senyawa kimia yang sifatnya tidak beracun, tetapi begitu tercampur air akan
terurai dan berubah bersifat menjadi racun. Cara yang sangat keji.
Senjata kedua, berhasil kami antisipasi berkat kejelian
Dewan Komunikasi. Masuk dan menyerang
melalui media informasi elektronik. Siaran-siaran televisi yang berasal dari
luar dikaji ulang melalui teknologi informasi yang paling canggih yang kami
miliki dan ada indikasi banyak yang disisipi semacam program hipnotis. Melalui
kode-kode binary yang menciptakan gelombang suara dan gelombang cahaya
tertentu. Dengan mendengarkan gelombang suara pada frekwensi yang terprogram,
seseorang bisa masuk ke alam bawah sadarnya, hingga bisa dikendalikan.
Mengerikan bukan? Teknologi semacam itu bisa membuat seseorang membunuh sesuai
program yang dijalankan tanpa ia sendiri menyadarinya. Program yang mengubahmu menjadi mesin
pembunuh begitu teraktivasi. Bayangkan jika tanpa sadar kau membunuh anakmu,
istrimu dan teman-temanmu!
Senjata ketiga kami temukan diluar benteng. Pasukan
patrol yang telah dibekali alat deteksi canggih oleh Dewan Komunikasi
mengidentifikasikan banyak sekali ranjau yang ditanam. Ranjau-ranjau dengan
daya ledak dan daya musnah tinggi dan bisa terpicu dengan getaran yang sangat
kecil. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika anak-anak yang sering bermain
di pinggiran kota menginjaknya.
Dewan Tertinggi senang dengan kinerjaku. Tiga senjata
sudah berhasil diantisipasi. Serangan langsung juga sudah tidak pernah terjadi.
Mereka memutuskan menurunkan status walau aku tidak begitu menyukainya. Bagiku
masih ada ganjualan. Sesuatu hal yang aneh jika senjata-senjata rahasia musuh
telah diantisipasi, seharusnya mereka menyerang secara konvensional lagi
mengingat sifat musuh yang ambisius dan terkenal tak berhenti menyerang sebelum
dapat menaklukkan daerah yang diincarnya.
*******
Suatu malam, aku duduk di teras rumahku. Hujan baru saja
turun. Aku menikmati teh di beranda bersama istriku ketika istriku nampak
sumringah.
“Eh, lihat ada kunang-kunang!” serunya.
Kunang-kunag? Ah lama sekali tak melihatnya. Aku
tertegun, ternyata banyak sekali.
“Wow, belum pernah kulihat seperti ini. Bahkan semasa
kecil dulu tak pernah melihat sebanyak ini!” Seru istriku.
Ia benar. Aku takjub, serangga kecil itu beterbangan
dimana-mana. Satu persatu orang-orang mulai keluar dari rumah menyaksikan
fenomena langka itu.
“Indah sekali, suasana jadi romantis.” Kerling istriku
sambil memeluk lenganku.
Pintu rumah terbuka, Luna putriku yang berusia 5 tahun
tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Bunda, itu apa? Bagus sekali! Seperti bintang ya?”
“Itu yang namanya kunang-kunang sayang.”
“Luna mau satu ah!”
Bidadari kecilku itu berlari kehalaman mencoba menangkap
satu kunang-kunang. Tiba-tiba…
“BOOOOM!”
“Lunaaaaaaaaaaaaaaa!” Istriku menjerit.
Aku terbelalak , berlari menuju Luna. Tak menghiraukan
istriku yang terkulai pingsan.
“Lu-Lunaa….” Suaraku bergetar.
Lututku goyah, diantara kerlip kunang-kunang itu asap
masih mengepul tipis. Jelas kulihat tubuh bidadari kecilku tak bernyawa dan tak
utuh lagi. Bau mesiu, darah dan daging terpanggang membuatku mual. Aku terjatuh di atas lututku, air mata membanjir. Marah dan sedih
menyatu, kutatap berkeliling mencari-cari penyebab ledakan. Aku tak melihat
tanda-tanda musuh. Lalu terdengar ledakan, kali ini banyak dan susul menyusul
dari segala penjuru.
“BOOOM! BOOOM! BOOOM!
Suasana yang tadi indah dengan kemunculan ribuan
kunang-kunang itu menjadi mencekam. Jerit tangis dimana-mana, api berkobar.
Asko Land membara.
“Apa yang terjadi?” Aku bingung.
Seorang komandan tergopoh-gopoh datang.
“Panglima, apa yang terjadi? Seluruh kota kacau dan
banyak ledakan!”
Aku masih berlutut ketika ia sampai dihadapanku. Seekor
kunang-kunang nampak hinggap di bahunya.
“BOOOM!”
Aku terppental dan berguling-guling.
“Bu-bukan ranjau, ini…ini senjata rahasia ketiga mereka!”
Terlambat menyadari semua. Kusaksikan diantara asap,
kunang-kunang laknat itu telah tersebar diseluruh penjuru. Mereka meledak
begitu bersentuhan dengan benda. Lengah, tanpa kusadari dua ekor kunang-kunang telah berada satu
centi dekat perutku. Ketika kulihat salah satunya baru saja hinggap di perutku,
dan….
No comments:
Post a Comment