Malam dingin dan sepi. Hujan yang tinggal rintik-rintik menyisakan dingin. Suara jangkrik dan juga suara kodok bersahutan. Beberapa kunang-kunang nampak kerlap-kerlip, suasana yang lama tak kujumpai. Aku sendirian mendekati desa kelahiranku, menyusuri jalan kricak yang membelah hamparan sawah yang penuh kenangan. Waktu kecil aku sering bermain layangan disini, anginnya bagus. Selain itu, jika bosan aku dan teman-teman sebaya sering mencari belut atau sekedar bermain kubangan sawah. Ini jalan utama, meski belum di aspal tetapi merupakan nadi vital karena satu-satunya akses yang bisa dilalui mobil, sehingga perekonomian cukup hidup. Dulu, aku dan teman-temanku sering berlarian membuntuti dibelakang mobil pick up yang datang dari kota. Orang-orang kota itu membeli hasil tani dari desaku, lalu dijual di kota.
Aku terus berjalan, hingga sampai di gapura desa. Aku tertegun didepan gapura desaku.
Kata-kata seperti sayap, membawa angan terbang ke langit khayal. Kata-kata seperti pisau, menusuk ulu hati dan melukai, atau kadang serupa mantra layaknya perisai, yang melindungi keyakinan! Kata-kata adalah nyawa yang menghidupkan sajak-sajak yang terlahir dari jiwa-jiwa yang gelisah
Friday, August 23, 2013
Saturday, August 17, 2013
TIGA SENJATA
Asko Land sedang menghadapi agresi. Suatu siang seorang
telik sandi kembali dengan luka-luka yang parah. Malamnya Dewan Tertinggi
memanggilku, aku menerka mungkin ini ada hubungannya dengan kembalinya telik
sandi yang terluka itu
Semua yang hadir langsung memandang Sang Juru Komunikasi.
Lelaki dengan jubah panjang putih itu lalu mengangguk ke arah para tetua
sebagai isyarat memohon izin untuk mulai bicara.
“Mengingat urgensi masalah, langsung saja. Saya mendapat
laporan dari telik sandi bahwa musuh telah menyiapkan serangan dengan senjata
baru. Mereka telah berhasil mengembangkan tiga senjata baru sejenis senjata
pemusnah masal."
“Senjata pemusnah masal?” Aku bergidik.
Rupanya musuh sudah
Friday, August 16, 2013
LIMA MENIT KEMUDIAN
Jhuan merasa menjadi manusia yang beruntung. Usianya
baru menginjak 26 tahun, ia memiliki pekerjaan dengan penghasilan besar, apartemen
sendiri dan beberapa minggu lagi ia akan menikah dengan Ratu, gadis tercantik
di kampusnya dulu. Padahal semasa kuliah primadona kampus itu tak pernah
sekalipun meliriknya. Sekarang, Jhuan dipercaya me-manage uang dalam jumlah besar. Mobil sport terbaru meski masih
mencicil, gadged paling mutakhir,
pakaian selalu up to date, Jhuan merasa hidup dalam kendalinya, hingga
malam laknat itu tiba.
Saat itu Jhuan yang antusias dan percaya diri sedang
asyik di depan komputernya, memperhatikan grafik harga yang bergerak dinamis.
Sebagai seorang PAMM forex trader yang brilliant ia hanya butuh waktu dua puluh menit untuk memastikan
tren harga mata uang dunia. Pukul tujuh
malam, serangkaian analisa teknikal yang dia lakukan mulai dari level pivot point, RSI, moving average dan
serangkaian hitungan rumit lainnya eksekutif muda itu menyimpulkan harga telah
mencapai titik jenuh.
“Oversold!
Gottcha!” desis Jhuan
Subscribe to:
Posts (Atom)
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --
-- confucius --