bumi
Belum sempat kutulis,
sebab diamku belum mampu mengeja kalam tanah yang menerima
adalah keyakinan yang senantiasa menjadi debu yang mudah diterbangkan angin,
prahara itu
memecah sunyi-sunyi dalam serpihan tanya: kuatkah aku?
Ada tanah yang tak selesai di luku
Ada batu-batu diam
Ada diam-diam membatu, lalu sekali lagi :
Bumi menuntaskan putarannya, menunggu aku
angin
seperti halnya wujud yang tak berwadag dia,
datang dan pergi tanpa bisa terjejak
hadir jikalau kosong merong-rong hati, mengisinya
Ketika kuraih jemari hanya meraup hampa
sirna, hanya meninggalkan rasa : gamang
Kutebak arah, terjebak
Kukejar lari, menari
Kudiam datang, kepayang
Senyummu..ah!
api
Di jantungku,di nafasmu
Di mana ku di mana kau?
Waktu menyihir bara
Gelora yang kita nyalakan,
Kembang api menari dibibir-bibir kesepian
Kita, terbakar
Lalu pijar malam-malam kita dengan imaji
Matilah terbakar dalam alpa lalu abu tiba-tiba
Begitu pekat mengaburkan mata kita : gelap aku, kamu
hujan
Matahari terlipat sejak senja tadi dan bintang-bintang serentak sampyuh
Hanya hati yang saling memanggil, namun kehilangan bahasa
Meluruh malam-malam dalam cuaca yang berkiprah,
Dua langit, dua hati gamang memahat awan
Mencari bentuk
remuk,
Hujan,
satu-satu luruh lalu menyerahkan diri diserap tanah
Entah esok lahir sebagai mata air ataukah selamanya terjebak
dalam sungai-sungai tersembunyi..mencari celah untuk menemukan jalan menuju muara?
Kita, jatuh-luruh dalam musim yang tak kenal tanda
Kata-kata seperti sayap, membawa angan terbang ke langit khayal. Kata-kata seperti pisau, menusuk ulu hati dan melukai, atau kadang serupa mantra layaknya perisai, yang melindungi keyakinan! Kata-kata adalah nyawa yang menghidupkan sajak-sajak yang terlahir dari jiwa-jiwa yang gelisah
Thursday, February 24, 2011
Saturday, February 12, 2011
Resah Dalam Secangkir Kopi
Kuteguk kopiku,
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
pahit.
Adakah kau rasa jeda yang begitu sunyi itu?
Menyitir setiap detik menjadi detak
menyentak setiap rahasia dalam benak
Andai saja kau mampu masuk dalam sunyiku
kau akan menutup telinga karena bising!
Menyitir setiap detik menjadi detak
menyentak setiap rahasia dalam benak
Andai saja kau mampu masuk dalam sunyiku
kau akan menutup telinga karena bising!
Pagi,
Kusitir harapan di kelebat angin
Kataku pada angin: Pergi!
tuailah mendung untukku…sebab, aku masih belum selesai bercumbu dengan hujan,
malam tadi.
Seperti kesunyian lupa diri yang hidup dari membunuhi puisi
Itu rinduku untukmu
Tapi,
Jari-jariku lupa cara menuliskan huruf
Kata-kata hanya sukma yang kehilangan jasad, mengembara dalam gaibnya ruang kepalaku
Seperti puisi yang mati,
aksara tak tereja dan makna tetap menjadi rahasia
terlanjur,
Sebab patahnya anak kunci dan rasa tersegel dalam ruang pengap
Tak seperti dongeng para sepuh ternyata,
Di dadaku bukan lautan sabar yang bersemayam
Di dadaku bukan lautan sabar yang bersemayam
Disana adalah lautan, dimana badai bersemayam bersama buih dan gelombangnya
Selamilah dasarnya
Sebuah peti
Sebuah Hati
Terkunci,
dan telah patah anak kunci ditanganmu
Degup, letup...
jantungku mengetuk-ngetuk nada arpegio dimainkan dalam broken chord:
adalah resah esok malam...ah! kutahan dan terlepas begitu saja
you, my sugar...
Raksaka Nala, 12/2/2011
Subscribe to:
Posts (Atom)
By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest.
-- confucius --
-- confucius --